Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Menuju Pelangi

20 September 2024   21:42 Diperbarui: 20 September 2024   21:46 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin menderu kencang, meniup dedaunan, mencambuk pepohonan, dan memutar-mutar debu di udara. Petir sesekali membelah gelapnya langit, kilatan cahayanya menyambar dengan kecepatan yang menakutkan. Butiran hujan sebesar biji jagung menghantam aspal, menciptakan riak yang tak henti-henti. 

Di antara suara gemuruh dan hembusan angin, Rafif melangkah perlahan dengan payung lusuhnya. Sepatu yang sudah basah membuat setiap langkah terasa semakin berat. Baru saja dipecat, perasaannya campur aduk, antara putus asa dan bingung harus melangkah ke mana. Setiap tetes hujan yang jatuh terasa seperti cermin dari kebingungannya, sementara angin yang melawan langkahnya mempertegas beratnya perjalanan hidup yang tengah ia hadapi.

Rafif menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian sebelum mendorong pintu kaca toko yang pertama. "Permisi, Bu," Rafif membuka mulut, suaranya bergetar oleh dingin dan rasa canggung. "Apakah di sini ada lowongan pekerjaan?"

"Maaf, di sini tidak ada lowongan lagi." Di toko berikutnya juga sama. "Kami sedang tidak butuh orang sekarang." Dan lagi. "Semua posisi sudah terisi."

Di setiap tempat, rasa penolakan terasa lebih berat, menambah beban yang sudah menumpuk berat di pundaknya. Di tengah perjalanannya, dia melihat sebuah halte kecil di pinggir jalan, perlindungan sementara dari badai yang tak kunjung reda. Dengan langkah berat, Rafif meneduh di sana, berharap hujan segera berhenti, meskipun di dalam hatinya, badai yang jauh lebih besar sedang berkecamuk. Kegelisahan mengaduk-aduk pikirannya, membuatnya mempertanyakan sejuta hal; pekerjaan, masa depan, dan hidup yang sepertinya tak pernah berjalan sesuai rencananya.

Dari sudut mata, Rafif melihat seorang ibu-ibu tua yang juga sedang meneduh. Seolah menyadari tatapannya, ibu itu tersenyum.

"Kamu tampak lelah, Nak," suaranya lembut, tidak seperti hujan badai kencang di luar.

"Hidup terasa berat, Bu. Seperti hujan ini yang rasanya tak akan pernah berhenti." Keputusasaan terdengar di suaranya.

"Hujan pasti akan berhenti. Badai tidak selamanya. Sama seperti hidup, terkadang jalannya tidak selalu sesuai dengan yang kita rencanakan."

"Tapi... rasanya semua usaha saya sia-sia. Saya sudah berusaha, tapi selalu gagal."

"Tidak ada yang sia-sia. Terkadang, kita hanya perlu istirahat sejenak. Hidup itu bukan tentang seberapa cepat kita sampai ke tujuan, tapi tentang seberapa jauh kita bisa melangkah meski jalannya berat. Berhenti sejenak bukan berarti menyerah. Terkadang, istirahat sebentar bisa memberimu pandangan yang lebih jernih. Mungkin saat kamu berhenti, kamu akan melihat jalan yang tak pernah kamu sadari sebelumnya."

Rafif mendengarkan dengan seksama, menatap ibu itu dengan rasa syukur, seolah kata-katanya membangkitkan sesuatu dalam dirinya.

"Nah, ini bisnya. Saya izin pergi ya, Nak." Ibu itu melemparkan satu senyuman hangat terakhir sebelum bus membawanya pergi.

Mungkin benar kata ibu tadi, dia hanya perlu berhenti sejenak, menyerap hujan, menikmati tenangnya halte ini, dan memberi ruang bagi dirinya untuk bernapas sebelum melangkah lagi.

Setelah cukup lama beristirahat, Rafif berdiri, ia menyadari sebuah jalan kecil yang belum ia lewati sebelumnya. Dia berniat untuk menjelajahinya meski hujan kelihatannya belum ingin undur diri. Di perjalanannya yang panjang, Rafif melihat sebuah kafe kecil dengan lampu kuning dari dalam yang memancar hangat. Di pintu kaca kafe itu, tergantung selembar kertas kecil yang mengumumkan: "Dibutuhkan Barista".

Hati Rafif berdebar, ia melangkah menuju kafe tersebut. "Saya lihat ada lowongan barista. Apa masih tersedia?" tanyanya pada kasir.

"Kami memang sedang mencari seseorang untuk membantu. Sudah punya pengalaman?"

"Belum banyak, tapi saya mau belajar."

Rafif mengikuti kasir itu ke belakang untuk menemui sang pemilik. Pemilik kafe itu adalah seorang wanita tua yang tampak tenang, mengenakan kemeja lusuh namun rapi. Saat Rafif melihatnya, ada sesuatu yang terasa familiar, ternyata itu adalah ibu tua yang dia temui di halte, sosok yang memberinya motivasi saat dia sedang putus asa.

Dengan senyum bijak, ibu itu berkata, "Saya lihat kamu sudah melangkah lagi, Nak. Sekarang saatnya kamu belajar. Kita mulai saja dari sini, ya?"

Rafif tersenyum penuh semangat. Setelahnya, ia berdiri di balik jendela kafe. Saat Rafif memandang ke langit, ia tersentak oleh keindahan yang tiba-tiba muncul di cakrawala. Sebuah pelangi terbentang dengan megah, melengkung sempurna dari satu sisi langit ke sisi lainnya, memancarkan warna-warni cerah yang memukau. Seolah memberitahunya bahwa setelah semua kegelapan, setelah semua badai yang menerjang, kini muncul sebuah awal yang cerah, sebuah harapan yang menanti di ujung jalan.

TAMAT

"Jika kita memiliki keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya." -- Bung Karno

NOTE: Cerpen ini hasil kolaborasi aku dan putriku, Sasha Q.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun