Di sudut kota kecil itu, Yuli dulu hanyalah seorang mahasiswa kedokteran, dengan buku-buku penuh teori dan mimpi-mimpi besar tentang menyelamatkan nyawa. Tak disangka, hidup memberinya kesempatan lebih cepat dari yang ia kira. Malam itu, dengan gemuruh petir dan hujan yang tak berkesudahan, Winda, tetangganya, datang mengetuk pintu. Winda yang tengah hamil tua tampak pucat dan panik. Tidak ada dokter atau bidan yang bisa dihubungi, dan satu-satunya harapan adalah Yuli.
Dengan tangan gemetar dan alat seadanya, Yuli membantu Winda melahirkan. Tangis bayi memecah keheningan, membawa kebahagiaan yang tak terlukiskan. Meski lelah, Yuli tersenyum bangga. Sebuah nyawa telah ia bawa ke dunia, dengan segala keterbatasan yang ada.
Tahun-tahun berlalu seperti angin berhembus. Yuli telah menjadi dokter, meraih impiannya. Ia menikah dengan pria yang dicintainya, dan mereka dikaruniai seorang putri cantik bernama Jesica. Jesica adalah cahaya hidupnya. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi kegelapan ketika suatu sore, Jesica tak kunjung pulang setelah bermain di taman.
Yuli dan suaminya mencari ke segala penjuru, memanggil-manggil nama Jesica di setiap sudut jalan, tetapi anak itu tak juga muncul. Kecemasan yang mencekam menelan mereka, membuat napas terasa semakin sesak setiap jam yang berlalu. Polisi dihubungi, dan pencarian besar-besaran dilakukan. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan perlahan terkikis. Orang-orang mulai berkata, "Mungkin sudah saatnya menyerah."
Tetapi, ada satu orang yang tidak menyerah. Seorang polwan muda bernama Niken, dengan tatapan penuh tekad, terus mencari, menggali petunjuk yang mungkin terlewatkan oleh orang lain.
Suatu malam, ketika harapan Yuli hampir padam sepenuhnya, bel rumahnya berbunyi. Di depan pintu, berdiri Niken dengan senyum tipis di bibirnya. "Bu Yuli, saya menemukan Jesica," katanya pelan.
Mata Yuli langsung basah. Ia mengikuti Niken dengan langkah tergesa-gesa menuju sebuah gedung kosong di pinggir kota, tempat Jesica ditemukan. Gadis kecil itu duduk di sudut, menangis, terisak, tetapi tidak terluka. Yuli berlari memeluk putrinya, merasakan kehangatan tubuhnya yang selama ini terasa hilang.
"Terima kasih... Terima kasih..." Yuli berulang kali mengucapkan kata-kata itu kepada Niken, merasa seluruh dunianya dipulihkan oleh tangan polwan muda itu.
Yuli merasa ada sesuatu yang familiar dari Niken, seolah ada ikatan tak terlihat yang menarik perhatiannya. Namun, dalam kabut kecemasan dan ketakutan, ia tak mampu mengingat sepenuhnya dari mana rasa itu berasal. Barulah ketika mata mereka bertemu, sebuah kenangan tiba-tiba muncul di benak Yuli.
"Niken... nama itu..." Yuli terdiam sejenak. "Apakah kau putri dari Winda?"