Damian, seorang ilmuwan terkemuka, adalah orang yang tak pernah puas. Ia selalu mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang hanya segelintir orang berani menanyakannya. Di dalam laboratorium canggih yang ia pimpin, Damian dan timnya menciptakan sesuatu yang akan mengubah dunia: sebuah teknologi yang dapat memvisualisasikan mimpi manusia. Teknologi ini dapat menerjemahkan isi alam bawah sadar menjadi citra yang terlihat nyata di layar raksasa.
Bagi Damian, mimpi adalah teka-teki yang tak pernah terselesaikan. Selama bertahun-tahun, ia percaya bahwa mimpi memegang kunci untuk memahami keinginan terdalam manusia, ketakutan yang tersembunyi, dan mungkin, masa depan. Namun, untuk memvalidasi teorinya, ia tak hanya ingin merekam mimpi orang lain. Ia ingin menjadi kelinci percobaan bagi penemuannya sendiri.
Pada malam yang menentukan itu, Damian duduk di kursi yang telah disediakan, dihubungkan dengan berbagai sensor canggih. Ia menghela napas dalam-dalam, meyakinkan dirinya dan timnya bahwa uji coba ini akan berjalan lancar. Anak buahnya, para ilmuwan yang setia dan terampil, mulai menyiapkan peralatan. Mesin mulai berdengung, cahaya layar raksasa di depan mereka berpendar pelan.
"Siap, Damian?" tanya salah satu asisten.
Damian mengangguk, matanya menyipit dengan penuh keyakinan. Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam relaksasi. Perlahan-lahan, tidur pun menyelimutinya.
Beberapa menit berlalu, dan gambar pertama muncul di layar. Sebuah padang rumput luas dengan langit biru membentang. Di dalam mimpi itu, Damian berjalan di antara bunga-bunga liar yang berwarna-warni. Binatang-binatang lucu berlarian di sekelilingnya---kelinci putih, burung-burung kecil yang berkicau riang. Pemandangan itu begitu menenangkan, seperti surgawi. Para ilmuwan di laboratorium tersenyum puas.
Namun, Damian tak merasa cukup. Ketika ia terbangun, matanya dipenuhi kilauan rasa ingin tahu. "Kita coba lagi," katanya tegas. Ada sesuatu yang belum ia temukan.
Mereka menyiapkan uji coba berikutnya. Kali ini, Damian tertidur lebih dalam, tubuhnya lebih tenang, tapi ekspresinya berubah sedikit gelisah. Layar raksasa di depannya perlahan menampilkan gambar-gambar baru. Tapi berbeda dari yang sebelumnya.
Hutan yang gundul. Tanah tandus dan retak-retak, seolah kekeringan sudah lama menggerogoti tempat itu. Pohon-pohon yang seharusnya hijau kini mati, batang-batang mereka menghitam dan lapuk. Binatang-binatang yang dulu menggemaskan kini tergeletak mati, tak berdaya. Sebagian dari mereka berlari, mengungsi ke arah yang tak jelas, mencari kehidupan di antara reruntuhan.
Para ilmuwan saling pandang, perasaan tidak nyaman mulai merayap di dada mereka. Namun, Damian tetap tidur. Ketika ia terbangun, kali ini keringat dingin mengalir di dahinya. Nafasnya terengah, tapi matanya bersinar dengan tekad yang semakin kuat.
"Kita lakukan sekali lagi," ucapnya dengan nada memerintah, meski tubuhnya tampak lelah.
Anak buahnya ragu. Tapi mereka tak berani menentang Damian. Lagi-lagi, sensor-sensor ditempelkan, mesin diaktifkan, dan Damian kembali tenggelam ke dalam dunia mimpinya.
Apa yang muncul di layar jauh lebih mengerikan daripada sebelumnya. Suara-suara berteriak memenuhi ruang laboratorium. Suara manusia, minta tolong, melolong putus asa. Di layar tampak pemandangan kota yang hancur lebur, bencana alam menyapu segalanya---tsunami, gempa bumi, angin badai. Tubuh manusia bergelimpangan di jalanan, terjepit reruntuhan, tenggelam dalam lautan yang mendidih. Langit berubah merah.
Semua yang ada di laboratorium terdiam. Pemandangan itu begitu nyata dan menakutkan. Salah satu asisten hampir muntah melihat kehancuran yang terpampang di layar. Namun, Damian tak juga bangun.
Mereka menunggu. Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Damian masih terbaring tenang di kursinya, tapi tubuhnya tak bergerak.
"Damian?" salah satu ilmuwan mencoba memanggilnya, tapi tak ada respons.
Panik mulai melanda timnya. Mereka mencoba membangunkannya dengan mengguncang bahunya, tapi Damian tetap diam. Salah satu asisten memeriksa detak jantungnya, tak ada denyut. Napasnya tak lagi bergerak. Damian telah meninggalkan dunia ini---terjebak selamanya di dalam mimpi yang diciptakannya sendiri.
Di layar, gambar kehancuran terus berlanjut. Suara jerit tangis manusia bergema, sementara dunia di dalam mimpi Damian hancur lebur. Para ilmuwan yang tersisa hanya bisa menyaksikan, tak mampu mematikan mesin, tak mampu menghentikan mimpi itu. Mimpi yang semula penuh keindahan kini menjadi penjara terakhir Damian.
Dia mencari kebenaran dalam mimpi, namun yang ia temukan hanyalah kegelapan yang paling dalam. Damian tenggelam dalam mimpi yang tak berujung.
TAMAT
"Kalau impianmu tak bisa membuatmu takut, mungkin karena impianmu tak cukup besar." - Muhammad Ali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H