Dengan tubuh yang bergetar, Haris meminta Hilman membawanya ke makam Fatma. Kuburan itu terletak di sudut kecil pemakaman, ditandai dengan nisan yang sederhana. Di sana, Haris tersungkur. Tangannya meraba tanah yang dingin dan kaku, seolah mencari sisa-sisa keberadaan istrinya yang pernah begitu nyata baginya.
"Maafkan aku, Fatma... Maafkan aku..." Air matanya mengalir deras, bercampur dengan lumpur dan debu. "Aku terlalu sibuk, terlalu sibuk hingga melupakanmu... Aku bahkan tidak ada saat kau pergi...," isaknya, suaranya tercekat oleh rasa bersalah yang begitu dalam.
Haris teringat kembali pada setiap pagi yang ia jalani dengan pertanyaan yang sama. Sekarang ia menyadari, pertanyaan itu lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Fatma. Ia butuh meyakinkan dirinya bahwa cinta mereka masih ada, meski di dalam lubuk hatinya, ia tahu Fatma sudah pergi. Namun, kesibukan dan egonya membuatnya menolak untuk menerima kenyataan.
Hilman berdiri di belakang ayahnya, menatap dengan sedih. "Pa, Mama pasti tahu kalau Papa mencintainya... Tapi sekarang yang penting Papa harus belajar menerima bahwa Mama sudah tenang. Mama tidak akan pergi dari hati kita, selama kita mengingatnya dengan cinta."
Haris mengangguk pelan. Ia tahu kata-kata Hilman benar. Cinta itu tidak hilang, tapi ia terlambat untuk menebus kesalahan yang telah ia buat. Selama ini ia hidup dalam bayangan, dalam ilusi cinta yang ia pertahankan untuk menutupi luka hatinya sendiri. Tapi sekarang, di hadapan kuburan istrinya, Haris menyadari bahwa satu-satunya cara untuk menghidupkan cinta Fatma adalah dengan merelakannya.
Sambil menggenggam erat nisan itu, Haris berbisik, "Aku mencintaimu, Fatma... dan aku akan selalu mencintaimu." Untuk pertama kalinya, tidak ada jawaban. Tapi kali ini, Haris merasa lebih tenang.
TAMAT
"Aku mencintaimu dan itulah awal dan akhir dari segalanya." -- F. Scott FitzgeraldÂ