Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Aku akan Selalu Mencintaimu

15 September 2024   20:28 Diperbarui: 1 Oktober 2024   16:50 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/free-ai-image/close-up-portrait-couple-together

Setiap pagi, Haris selalu mengucapkan hal yang sama pada istrinya. Dia akan mendekat dengan senyum lembut, menyentuh pipinya, dan berkata, "Apakah aku sudah bilang kamu cantik dan aku mencintaimu hari ini?" Istrinya, Fatma, akan tersenyum manis, mengangguk, dan menjawab, "Ya, kamu sudah." 

Lalu Haris akan tertawa, seolah lepas dari beban, dan kembali ke rutinitasnya. Hari itu terasa indah, seolah segala sesuatu berada di bawah kendalinya.

Belakangan ini Haris mulai melonggarkan pekerjaannya. Dia suka berlama-lama di rumah, menikmati waktu bersama Fatma, meski hanya duduk bersama tanpa banyak bicara. 

Pekerjaannya mungkin menumpuk, tapi dia tak peduli. Baginya, Fatma adalah yang paling berharga. Bahkan ketika jam kerja memanggil, Haris sering bermalas-malasan, menunda keberangkatannya hanya untuk menatap Fatma lebih lama. Dia merasa waktunya bersama istrinya terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.

Hingga suatu hari, di saat senja memerah di luar jendela, puteranya, Hilman, menghampirinya dengan raut wajah tegang. "Pa..." suara Hilman terdengar berat, seolah menahan sesuatu yang sulit diucapkan. Haris menatap anaknya, terkejut melihat sorot mata Hilman yang penuh dengan kebimbangan.

"Ada apa?" tanya Haris sambil mengerutkan kening.

Hilman menelan ludah, kemudian menghembuskan napas panjang. "Mama sudah meninggal, Pa."

Dunia Haris seketika runtuh. Dia tak bisa berkata apa-apa. "Apa maksudmu?" suaranya nyaris tak terdengar.

"Pa, Mama sudah meninggal. Sudah lama, Pa. Papa bahkan tidak datang ke pemakamannya. Papa terlalu sibuk bekerja waktu itu. Papa juga tak pernah ke rumah sakit. Aku yang menemaninya... sampai napas terakhir."

Haris terpaku, tubuhnya membeku, namun di dalam dadanya, ada kepedihan yang membara, memeluknya erat. "Tidak... Mama ada di sini... Aku selalu bertanya padanya... setiap hari... dia selalu menjawab...," ucapnya terbata-bata, menolak kenyataan yang baru saja diceritakan anaknya.

Hilman menggeleng pelan, air mata berlinang di sudut matanya. "Itu semua hanya ada di kepala Papa. Papa sudah lama kehilangan Mama, tapi Papa seolah-olah tidak mau menerima kenyataan. Mama sudah pergi."

Kenangan-kenangan itu berkelebat di kepala Haris. Pertanyaan yang selalu ia ulang setiap pagi, senyum manis Fatma, jawaban lembutnya... semua terasa nyata. 

Tapi kini, semua seakan hancur berkeping-keping di hadapannya. Fatma tidak pernah menjawab pertanyaannya. Selama ini, Haris hanya berbicara pada bayangan, pada angan-angan semu yang ia ciptakan untuk menutupi luka hatinya.

Dengan tubuh yang bergetar, Haris meminta Hilman membawanya ke makam Fatma. Kuburan itu terletak di sudut kecil pemakaman, ditandai dengan nisan yang sederhana. 

Di sana, Haris tersungkur. Tangannya meraba tanah yang dingin dan kaku, seolah mencari sisa-sisa keberadaan istrinya yang pernah begitu nyata baginya.

"Maafkan aku, Fatma... Maafkan aku..." Air matanya mengalir deras, bercampur dengan lumpur dan debu. "Aku terlalu sibuk, terlalu sibuk hingga melupakanmu... Aku bahkan tidak ada saat kau pergi...," isaknya, suaranya tercekat oleh rasa bersalah yang begitu dalam.

Haris teringat kembali pada setiap pagi yang ia jalani dengan pertanyaan yang sama. Sekarang ia menyadari, pertanyaan itu lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Fatma. 

Ia butuh meyakinkan dirinya bahwa cinta mereka masih ada, meski di dalam lubuk hatinya, ia tahu Fatma sudah pergi. Namun, kesibukan dan egonya membuatnya menolak untuk menerima kenyataan.

Hilman berdiri di belakang ayahnya, menatap dengan sedih. "Pa, Mama pasti tahu kalau Papa mencintainya... Tapi sekarang yang penting Papa harus belajar menerima bahwa Mama sudah tenang. Mama tidak akan pergi dari hati kita, selama kita mengingatnya dengan cinta."

Haris mengangguk pelan. Ia tahu kata-kata Hilman benar. Cinta itu tidak hilang, tapi ia terlambat untuk menebus kesalahan yang telah ia buat. Selama ini ia hidup dalam bayangan, dalam ilusi cinta yang ia pertahankan untuk menutupi luka hatinya sendiri. 

Tapi sekarang, di hadapan kuburan istrinya, Haris menyadari bahwa satu-satunya cara untuk menghidupkan cinta Fatma adalah dengan merelakannya.

Sambil menggenggam erat nisan itu, Haris berbisik, "Aku mencintaimu, Fatma... dan aku akan selalu mencintaimu." Untuk pertama kalinya, tidak ada jawaban. Tapi kali ini, Haris merasa lebih tenang.

TAMAT

"Aku mencintaimu dan itulah awal dan akhir dari segalanya." -- F. Scott Fitzgerald 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun