Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Nominator AMI Awards 2015. 3 bukunya terbit di Gramedia. Penulis cerita di comicone.id. Sudah menulis 3 skenario film. Tumbal: The Ritual (2018), Jin Khodam (2023), Kamu Harus Mati (coming soon).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjara Tanpa Jeruji

15 September 2024   05:34 Diperbarui: 15 September 2024   07:20 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/

Malam itu, hujan turun dengan deras, menyembunyikan langkah-langkahnya yang tergesa. Bayu, seorang napi yang telah berhasil melarikan diri, berlari secepat mungkin meninggalkan penjara yang selama bertahun-tahun membelenggunya. Nafasnya berat, dadanya sesak, tetapi di dadanya bergejolak api kebebasan. Ia harus terus berlari. Udara dingin menggigit kulit, tapi bayangan kebebasan menghangatkannya.

Di tengah keputusasaan, ia menemukan sebuah rumah besar. Gelap, kosong, namun jendela-jendelanya memancarkan kilatan-kilatan yang menantang. Tanpa berpikir panjang, ia mendobrak pintu depan dan masuk. Di dalamnya, semuanya serba mewah: lantai marmer yang dingin di bawah telapak kakinya, lampu-lampu kristal yang menggantung anggun di langit-langit, dan yang paling penting, lemari-lemari penuh dengan makanan.

Bayu menutup pintu di belakangnya. Sebuah senyuman puas terlukis di wajahnya. Ia sudah berhasil. Ia bebas. Rumah besar itu bagaikan surga tersembunyi, aman dari kejaran polisi, aman dari siapa pun. Tak ada yang tahu ia ada di sana.

Hari-hari pertama ia habiskan dengan memanjakan dirinya. Ia berenang di kolam renang besar yang berada di halaman belakang, menikmati udara segar tanpa merasa diawasi. Di dapur, ia menemukan persediaan makanan yang seakan tak pernah habis. Ia berpesta sendirian, merasa seolah-olah dunia kini miliknya. Di kamar tidur, ia tidur di ranjang yang empuk, lebih nyaman daripada tempat tidur keras di sel penjaranya dulu.

Namun, setelah beberapa minggu, keheningan mulai merayapi hatinya. Ada rasa yang tak bisa ia definisikan. Rasa itu seperti angin dingin yang terus-menerus berembus di dalam dadanya, menggoyahkan semangatnya. Meskipun rumah itu penuh dengan kemewahan, semuanya mulai terasa kosong. Tak ada suara lain selain bunyi langkah kakinya dan gemericik air kolam renang yang mengalir tanpa henti. Rumah itu begitu besar, tetapi terasa seperti gua yang hampa.

Bayu mulai merasa terperangkap. Setiap kali ia mencoba keluar dari rumah itu, kakinya seakan ditarik kembali. Ada jalan setapak menuju luar, tetapi ia tak pernah berani berjalan lebih jauh dari gerbang depan. Entah kenapa, setiap kali ia hendak melangkah, ada sesuatu yang menahannya, membuatnya ragu. Ketakutan tak bernama merayapi benaknya.

"Apa yang ada di luar sana?" pikirnya. "Kebebasan atau bahaya?" Dunia luar terasa jauh lebih asing daripada sel penjara yang telah lama ia tinggalkan. Setiap kali hendak melangkah keluar, pikirannya dipenuhi oleh gambaran polisi yang siap menangkapnya, masyarakat yang mencibir, dunia yang menolaknya. Rasa takut itu menariknya kembali ke dalam rumah.

Suatu malam, saat ia sedang duduk di ruang tamu yang luas, suara detak jam di dinding terdengar semakin nyaring. Detik demi detik, seolah menghitung setiap detik kehidupannya yang hilang. Bayu menatap jam itu dengan tatapan kosong, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia sadar, kebebasan yang ia impikan tidak seperti ini. Rumah besar yang awalnya ia anggap sebagai pelarian sempurna kini telah berubah menjadi penjara lain. Penjara yang lebih halus, tanpa jeruji, tetapi dengan belenggu yang lebih kuat.

Setiap sudut rumah itu mengingatkannya pada kesunyian. Kolam renang yang dulu menyegarkan kini seperti lubang tak berdasar, memantulkan bayangannya yang kesepian. Makanan yang melimpah tidak lagi membangkitkan selera, melainkan hanya pengingat akan waktu yang terus berjalan, tetapi tidak membawa perubahan apa pun.

Bayu mencoba berbicara dengan dirinya sendiri, berusaha membujuk bahwa ia masih bisa menikmati kebebasannya di sini. Tetapi, suara hatinya membantah, berkata bahwa rumah ini bukanlah kebebasan yang sejati. Semua kenyamanan ini palsu. Tidak ada kebebasan dalam kemewahan yang tak terbatas ini, hanya kehampaan. Ia tidak lari dari penjara; ia hanya berpindah dari satu kurungan ke kurungan lain.

Pada akhirnya, Bayu menyadari kebenaran yang mengerikan. Ia memang telah melarikan diri dari penjara dengan dinding batu dan jeruji besi, tetapi ia telah memasuki penjara lain yang lebih mengerikan: penjara dalam pikirannya sendiri. Rasa takut akan dunia luar, rasa takut akan penolakan, membuatnya terjebak dalam rumah ini. Tanpa dinding, tanpa sipir, tetapi dengan belenggu yang tak terlihat.

Ia berdiri di depan pintu rumah, menatap ke luar melalui kaca jendela yang lebar. Malam itu cerah, bintang-bintang berkelip di langit. Di luar sana, ada dunia yang menunggunya. Dunia yang mungkin akan menolaknya, tetapi juga dunia yang memberinya kesempatan untuk benar-benar bebas. Kebebasan sejati bukanlah bersembunyi di balik kenyamanan semu, melainkan menghadapi ketakutan dan kerumitan hidup.

Bayu membuka pintu dengan tangan gemetar. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, membuat dadanya terasa ringan untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu. Ia melangkah keluar, satu langkah kecil, lalu dua, meninggalkan rumah besar itu di belakangnya.

Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa bebas.

TAMAT

"Rahasia kebahagiaan adalah kebebasan ... Dan rahasia kebebasan adalah keberanian." - Thucydides

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun