Udara malam itu begitu dingin. Angin menerpa wajah Bagas yang berdiri di depan pintu rumahnya, menggigil. Tangannya merogoh saku celana berulang kali, mengharapkan sentuhan dingin dari kunci rumah yang biasa menggantung di sana. Namun, nihil. Ia tak menemukan apa-apa selain secarik kertas bon kafe dan beberapa koin receh.
"Kemana kunci sialan itu?" gumamnya sambil merapatkan jaket. Ia memeriksa setiap saku, bahkan dalam lipatan-lipatan kecil di tasnya, tetapi tetap tak menemukan apa yang ia cari. Bagas memandang pintu kayu tua di hadapannya, pintu yang tampak kokoh, menertawakannya dalam sunyi malam.
Ia duduk di tangga teras, mencoba mengingat dengan jernih. Apakah ia menjatuhkannya di jalan? Di kantor? Di kafe tempat ia baru saja ngopi? Kunci itu seharusnya bersamanya.
Bagas merenung. Sudah lama ia merasa seperti terkunci di luar hidupnya sendiri. Pekerjaan yang dulu memberinya semangat kini terasa hampa. Hubungan dengan teman-temannya perlahan merenggang, tenggelam dalam obrolan basi dan basa-basi tanpa makna. Dan cinta? Ah, itu adalah kunci yang sudah lama hilang.
Ia teringat Sinta, wanita yang dulu membuatnya merasa hidup, yang membawa tawa ke dalam hari-harinya. Hubungan mereka retak begitu saja, tak jelas di mana letak kesalahan pertama. Mungkin, ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, terlalu tenggelam dalam pekerjaan dan ambisi, hingga lupa memberikan waktu untuk orang yang ia cintai. Sinta pergi, meninggalkan kosong yang tak pernah bisa ia isi kembali.
Bagas berdiri, menggosok kedua tangannya, mencoba mengusir dingin. Ia berjalan mondar-mandir di depan pintu, mencoba mencari solusi, mencoba mengingat kembali momen-momen kecil dalam hidupnya yang ia abaikan.
Pikirannya terus mengembara. Ia teringat perbincangannya dengan ayahnya beberapa tahun lalu. Ayahnya pernah berkata, "Bagas, jangan sampai kamu kehilangan kunci untuk mengenali dirimu sendiri. Sebab jika itu terjadi, kau akan merasa terkunci dalam hidupmu selamanya, tanpa tahu bagaimana caranya keluar."
Ayah benar, batin Bagas. Ia telah lama kehilangan kunci untuk menemukan dirinya sendiri. Semua ambisi, keinginan, dan tuntutan hidup membuatnya lupa siapa ia sebenarnya, apa yang ia inginkan, dan ke mana ia hendak pergi.
Malam semakin larut. Langit gelap dan suara angin mendesis di antara pepohonan. Bagas duduk kembali, lelah secara fisik dan mental. Ia menatap kosong ke depan, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kacau.
Saat pandangannya tertuju ke pintu rumah yang tertutup rapat, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Kunci cadangan! Ya, ada kunci cadangan yang disembunyikannya di pot bunga besar di sudut teras. Bagas berdiri cepat, melangkah menuju pot itu dan menggali tanah dengan tangannya yang gemetar karena dingin.
Tangannya menyentuh benda keras. Sebuah kunci. Dengan penuh rasa lega, Bagas tersenyum. Kunci itu ada di sana, tepat di tempat yang ia sembunyikan dulu, tanpa pernah ia sadari. Ia telah menyimpan solusi di depan matanya sendiri, namun terlalu fokus mencari di tempat lain.
Tanpa berpikir panjang, ia memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci pintu rumahnya. Begitu pintu terbuka, ia merasa hawa hangat dari dalam rumah menyambutnya. Namun, ada yang berbeda. Sesuatu yang terasa asing. Rumah itu tidak lagi terasa seperti rumahnya.
Bagas melangkah masuk, menyalakan lampu ruang tamu. Matanya segera menangkap keanehan. Di meja, ada cangkir kopi yang masih mengepul hangat, sementara di sofa, sepasang sepatu yang tidak ia kenali tergeletak. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang. Ini bukan rumahnya!
Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari dapur, dan seorang pria keluar. Pria itu memandang Bagas dengan tatapan terkejut, seolah Bagas yang tak seharusnya ada di sana.
"Siapa kamu?" tanya pria itu dengan nada marah.
Bagas mundur satu langkah. "Ini... rumahku," jawabnya dengan kebingungan.
Pria itu menatap Bagas lekat-lekat, lalu menggeleng pelan. "Ini bukan rumahmu. Kamu sudah lama meninggalkan tempat ini. Kamu kehilangan kuncimu, bukan hanya yang satu itu, tapi semua kunci dalam hidupmu."
Bagas terdiam, merasakan kata-kata itu menusuk dalam. Lalu, dalam sekejap, ia menyadari kebenaran yang menohok. Ini bukan tentang rumah fisik. Ia telah kehilangan kendali atas seluruh hidupnya. Rumah ini hanyalah simbol dari apa yang sebenarnya hilang: jati diri, kebahagiaan, dan semua yang ia abaikan selama ini.
Saat pria itu melangkah mendekat, Bagas berbalik dan berlari keluar, menuju kegelapan malam. Ia sadar, kunci itu tak pernah ada. Yang ia cari adalah dirinya sendiri, yang tersesat entah di mana.
TAMAT
"Sadarilah bahwa kebahagiaan itu terletak di dalam diri Anda sendiri. Janganlah Anda membuang-buang waktu dan menyia-nyiakan usaha mencari kedamaian, kesenangan dan kegembiraan di dunia luar." - Og Mandino
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H