“Kita selalu makan bersama, kan?” jawab Pak Heri dingin.
“Tidak, Ayah. Kita duduk di meja yang sama, tapi kita tidak benar-benar bersama. Tidak ada yang bicara, tidak ada yang peduli,” ujar Nia, berusaha keras menahan tangis.
Pak Heri terdiam. Kata-kata anaknya menembus hatinya, perlahan membuka luka yang selama ini tak ia sadari. Ia memandang istrinya yang kini tertunduk, tak mampu menatap anak mereka. Bu Anita pun menyadari bahwa kehidupan yang mereka bangun, yang dipenuhi kemewahan, telah kehilangan makna. Mereka telah membeli segalanya, tapi lupa untuk membangun keluarga yang hangat.
Di ruang makan itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada kesadaran yang muncul di antara mereka. Pak Heri menutup laptopnya, meletakkannya di samping. Bu Anita menyimpan ponselnya. Mereka bertiga duduk dalam keheningan yang berbeda. Bukan lagi hening yang dingin, tapi hening yang penuh kesadaran---kesadaran bahwa rumah besar ini tidak berarti apa-apa tanpa cinta dan kehangatan yang tulus di dalamnya.
Malam itu, mereka mulai berbicara. Tentang hal-hal sederhana yang selama ini terabaikan. Perlahan, dinding-dinding yang selama ini memisahkan mereka runtuh. Kehangatan mulai mengalir ke dalam rumah mereka.
TAMAT
"Menjadi keluarga berarti kamu adalah bagian dari sesuatu yang sangat indah, itu berarti kamu akan mencintai dan dicintai selama sisa hidup kamu." - Lisa Weed
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H