Di sebuah perumahan elit, berdirilah sebuah rumah besar dengan pilar-pilar marmer yang menjulang tinggi, taman luas yang terawat rapi, dan pagar besi hitam yang selalu terkunci rapat. Rumah itu milik keluarga Pak Heri, seorang pengusaha sukses yang memiliki segalanya. Setiap kali ada tamu yang datang, mereka selalu terkesima melihat keindahan rumah itu---megah, mewah, dan sempurna dari luar.
Namun, di dalam rumah, suasana berbeda. Suara bising televisi menyala tanpa henti, namun tak ada yang menonton. Istri Pak Heri, Bu Anita, sering kali duduk di sofa mewah dengan mata kosong, menggulir-gulir layar ponselnya tanpa minat. Di dapur, ada makanan mahal tersaji di atas meja, tapi jarang disentuh.
Anak mereka, Nia, gadis berusia enam belas tahun, lebih sering mengurung diri di kamar. Hidupnya dipenuhi barang-barang mahal, dari ponsel keluaran terbaru hingga pakaian desainer ternama. Namun, tak satupun dari itu membuatnya bahagia. Setiap kali ia membuka akun media sosialnya, ia hanya melihat kehidupan orang lain yang tampak lebih hidup dari hidupnya sendiri.
Pak Heri jarang ada di rumah. Jika pulang, ia akan langsung masuk ke ruang kerjanya, menghindari percakapan dengan istrinya atau anaknya. Baginya, waktu adalah uang, dan uang adalah segalanya. Dalam pikirannya, semua yang dia lakukan adalah demi keluarganya---demi istri dan anaknya bisa hidup nyaman tanpa kekurangan. Namun kenyamanan itu, ternyata, tidak mampu membayar keharmonisan yang telah lama hilang dari rumah mereka.
Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur, Nia duduk di ruang tamu. Ia menatap keluar jendela besar, melihat air hujan mengalir turun di kaca seperti tangisan yang terpendam. Di belakangnya, Bu Anita sedang berbicara di telepon, membahas acara sosial yang akan ia hadiri pekan depan, sama sekali tidak memperhatikan anaknya yang duduk sendirian.
Tanpa disadari, Nia mulai menangis. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipinya. Ia merasa begitu kosong. Semua barang mewah yang dimilikinya tidak berarti apa-apa tanpa perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Dalam tangisnya, Nia teringat akan teman sekolahnya, Ratih, yang sering bercerita tentang keluarganya yang tinggal di rumah sederhana. Meski tidak kaya, Ratih selalu tampak bahagia---cerita tentang makan malam bersama, tertawa saat menonton acara TV, dan bercanda di meja makan. Nia ingat ayah Ratih pernah berkata, "Kita bisa membeli rumah, tapi kita tidak bisa membeli keluarga yang bahagia."
Membeli keluarga? Tiba-tiba ide itu loncat di atas kepala Nia. Selama sebulan ia menyisihkan uang jajannya. Lalu suatu malam, di meja makan, mereka duduk bersama untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Bu Anita sibuk dengan ponselnya, Pak Heri membaca laporan keuangan, dan Nia hanya memandangi makanan di depannya tanpa selera. Tak ada yang berbicara. Hening. Sepi. Akhirnya, Nia menaruh semua uangnya di atas meja. Ayah dan ibunya menatap heran.
“Cuma ini yang aku punya. Aku harap aku bisa membeli keluarga ini.” Nia berkata dengan nada gemetar, penuh harapan yang terdengar mustahil, bahkan di telinganya sendiri.
“Kami keluargamu. Kamu tak perlu membelinya.” Ibu menjawab, tapi suaranya seperti orang yang tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
“Apa kita bisa makan bersama, seperti keluarga lainnya?” Suara Nia nyaris tenggelam oleh rasa takut yang menjalar di seluruh sel-sel tubuhnya.