Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Nominator AMI Awards 2015. 3 bukunya terbit di Gramedia. Penulis cerita di comicone.id. Sudah menulis 3 skenario film. Tumbal: The Ritual (2018), Jin Khodam (2023), Kamu Harus Mati (coming soon).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Supir Taksi

9 September 2024   11:21 Diperbarui: 9 September 2024   12:37 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja mulai meredup di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, dan lampu-lampu kota perlahan menyala, berkilau seperti bintang di daratan. Suara klakson bersahutan di sepanjang jalan, tanda keramaian yang tak pernah tidur. Sebuah taksi tua melaju perlahan di tengah kemacetan. Di balik kemudi, Pak Arif, seorang supir taksi berusia paruh baya, menghela napas panjang. Umurnya sudah mulai uzur, namun masih harus berjuang di jalanan demi istri dan anak-anak di rumah.

Malam itu seperti malam-malam biasanya. Ia menunggu penumpang berikutnya di pinggir jalan, sesekali melirik spion. Hingga sebuah tangan mengangkat di kejauhan, seorang pria berdiri di trotoar, rapi dalam setelan jas mahal. Pak Arif segera menghentikan taksinya.

"Selamat malam, Pak," sapa Pak Arif ramah.

"Selamat malam," jawab pria itu, duduk di kursi belakang dengan tenang. "Ke Pondok Indah ya, Pak."

Pak Arif mengangguk dan mulai menginjak pedal gas. Suasana hening melingkupi mereka di awal perjalanan, hanya suara mesin dan lalu lintas yang mengisi kekosongan. Namun, setelah beberapa menit, pria di kursi belakang itu mulai berbicara. Pak Arif tak bisa melihat wajahnya dengan jelas melalui spion.

"Sudah lama jadi supir taksi, Pak?"

Pak Arif tersenyum tipis. "Lumayan, Mas. Sudah belasan tahun. Anak-anak perlu makan, sekolah, ya... begini inilah cara saya cari nafkah."

Pria itu mengangguk pelan. "Anak Bapak berapa?"

"Dua, Mas. Yang sulung, perempuan, namanya Aisyah, masih SMA. Yang kedua laki-laki, namanya Rido, baru masuk SMP." Suara Pak Arif terdengar bangga saat menyebut nama anak-anaknya.

Pria di kursi belakang tersenyum kecil. "Saya juga punya anak dua, namanya Aisyah dan Rido."

Pak Arif menoleh sedikit ke spion, keningnya berkerut heran. "Sama ya namanya? Wah, kebetulan sekali."

Mereka terdiam sejenak. Pak Arif melanjutkan menyetir, tapi pikirannya mulai tergelitik. Ada sesuatu yang ganjil. Sekadar kebetulan, atau...

"Kalau istri, Pak?" tanya pria itu lagi, memecah keheningan.

Pak Arif tersenyum lebih lebar kali ini. "Istri saya namanya Tati. Sudah 20 tahun kami menikah."

Pria itu mengangguk pelan, tatapannya kosong, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Istri saya juga Tati."

Pak Arif kini benar-benar menoleh. "Sungguh kebetulan luar biasa ini, Mas. Anak sama, istri pun sama."

Pria di kursi belakang itu hanya tersenyum samar, seolah memahami kebingungan Pak Arif. Tapi dia tidak menjelaskan apa-apa, hanya membiarkan suasana kembali hening untuk beberapa saat. Lampu-lampu jalanan menyinari wajah mereka yang terpantul di spion, membuat bayangan pria itu tampak semakin samar, hampir seperti fatamorgana.

Mereka akhirnya sampai di rumah besar di kawasan elit Pondok Indah. Pria itu membuka pintu taksi, tapi sebelum turun, dia menoleh sekali lagi kepada Pak Arif. Pada momen itulah Pak Arif kaget melihat wajah pria itu yang sekilas mirp sekali dengannya.

"Nama saya Arif. Saya adalah diri Bapak, kalau dulu Bapak memilih untuk fokus belajar dan bekerja, bukan hanya bermain dan membuang waktu."

Pak Arif terdiam, mulutnya terbuka setengah, namun tak ada kata yang keluar. Pria itu tersenyum samar, seolah tahu bahwa kalimatnya akan menghantui pikiran Pak Arif lama setelah dia pergi. Setelah menutup pintu, pria itu berjalan menuju rumah megahnya. Pak Arif hanya bisa memandang dari balik kaca, merasakan sebuah kehampaan yang aneh menyelimuti hatinya.

"Seandainya...," gumam Pak Arif pelan. Tapi apa yang bisa diubah oleh 'seandainya'?

Taksi itu berbalik arah, kembali menuju jalanan yang penuh kemacetan dan hiruk-pikuk. Tapi kali ini, pikirannya penuh dengan penyesalan-penyesalan yang dulu ia kira telah terlupakan. Terlintas di benaknya bayangan hidup yang lain, di mana ia bukan seorang supir taksi, melainkan pria kaya yang baru saja ia antar. Tapi, hidup adalah tentang pilihan, dan dia telah memilih jalannya sendiri.

TAMAT

"Meski kita bebas memilih tindakan kita, kita tidak bebas memilih konsekuensi dari tindakan kita." - Stephen R. Covey

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun