Pak Arif menoleh sedikit ke spion, keningnya berkerut heran. "Sama ya namanya? Wah, kebetulan sekali."
Mereka terdiam sejenak. Pak Arif melanjutkan menyetir, tapi pikirannya mulai tergelitik. Ada sesuatu yang ganjil. Sekadar kebetulan, atau...
"Kalau istri, Pak?" tanya pria itu lagi, memecah keheningan.
Pak Arif tersenyum lebih lebar kali ini. "Istri saya namanya Tati. Sudah 20 tahun kami menikah."
Pria itu mengangguk pelan, tatapannya kosong, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Istri saya juga Tati."
Pak Arif kini benar-benar menoleh. "Sungguh kebetulan luar biasa ini, Mas. Anak sama, istri pun sama."
Pria di kursi belakang itu hanya tersenyum samar, seolah memahami kebingungan Pak Arif. Tapi dia tidak menjelaskan apa-apa, hanya membiarkan suasana kembali hening untuk beberapa saat. Lampu-lampu jalanan menyinari wajah mereka yang terpantul di spion, membuat bayangan pria itu tampak semakin samar, hampir seperti fatamorgana.
Mereka akhirnya sampai di rumah besar di kawasan elit Pondok Indah. Pria itu membuka pintu taksi, tapi sebelum turun, dia menoleh sekali lagi kepada Pak Arif. Pada momen itulah Pak Arif kaget melihat wajah pria itu yang sekilas mirp sekali dengannya.
"Nama saya Arif. Saya adalah diri Bapak, kalau dulu Bapak memilih untuk fokus belajar dan bekerja, bukan hanya bermain dan membuang waktu."
Pak Arif terdiam, mulutnya terbuka setengah, namun tak ada kata yang keluar. Pria itu tersenyum samar, seolah tahu bahwa kalimatnya akan menghantui pikiran Pak Arif lama setelah dia pergi. Setelah menutup pintu, pria itu berjalan menuju rumah megahnya. Pak Arif hanya bisa memandang dari balik kaca, merasakan sebuah kehampaan yang aneh menyelimuti hatinya.
"Seandainya...," gumam Pak Arif pelan. Tapi apa yang bisa diubah oleh 'seandainya'?