Senja mulai meredup di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, dan lampu-lampu kota perlahan menyala, berkilau seperti bintang di daratan. Suara klakson bersahutan di sepanjang jalan, tanda keramaian yang tak pernah tidur. Sebuah taksi tua melaju perlahan di tengah kemacetan. Di balik kemudi, Pak Arif, seorang supir taksi berusia paruh baya, menghela napas panjang. Umurnya sudah mulai uzur, namun masih harus berjuang di jalanan demi istri dan anak-anak di rumah.
Malam itu seperti malam-malam biasanya. Ia menunggu penumpang berikutnya di pinggir jalan, sesekali melirik spion. Hingga sebuah tangan mengangkat di kejauhan, seorang pria berdiri di trotoar, rapi dalam setelan jas mahal. Pak Arif segera menghentikan taksinya.
"Selamat malam, Pak," sapa Pak Arif ramah.
"Selamat malam," jawab pria itu, duduk di kursi belakang dengan tenang. "Ke Pondok Indah ya, Pak."
Pak Arif mengangguk dan mulai menginjak pedal gas. Suasana hening melingkupi mereka di awal perjalanan, hanya suara mesin dan lalu lintas yang mengisi kekosongan. Namun, setelah beberapa menit, pria di kursi belakang itu mulai berbicara. Pak Arif tak bisa melihat wajahnya dengan jelas melalui spion.
"Sudah lama jadi supir taksi, Pak?"
Pak Arif tersenyum tipis. "Lumayan, Mas. Sudah belasan tahun. Anak-anak perlu makan, sekolah, ya... begini inilah cara saya cari nafkah."
Pria itu mengangguk pelan. "Anak Bapak berapa?"
"Dua, Mas. Yang sulung, perempuan, namanya Aisyah, masih SMA. Yang kedua laki-laki, namanya Rido, baru masuk SMP." Suara Pak Arif terdengar bangga saat menyebut nama anak-anaknya.
Pria di kursi belakang tersenyum kecil. "Saya juga punya anak dua, namanya Aisyah dan Rido."