Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jembatan Tua

8 September 2024   11:12 Diperbarui: 8 September 2024   11:18 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/premium-ai-image/

Di sebuah desa yang terpencil, tinggallah seorang anak lelaki bernama Adi. Hidupnya sederhana, bahkan terlalu sederhana. Rumahnya tak lebih dari gubuk reyot dengan dinding bambu yang mulai berlubang di sana-sini. Ayahnya seorang buruh tani, sementara ibunya sering menjahit baju tetangga untuk menambah sedikit penghasilan. Namun, meski hidup serba pas-pasan, Adi selalu tersenyum. Setiap orang yang melihatnya akan merasa heran---bagaimana mungkin seorang anak yang begitu miskin bisa begitu riang?

Adi punya rahasia yang tak pernah ia bagi kepada siapa pun. Setiap sore, setelah membantu ayahnya di sawah, ia akan duduk di tepi sungai yang mengalir di belakang rumahnya. Di sana, ia memandangi air yang berkilauan ditimpa cahaya matahari sore. Di atas sungai itu, ada jembatan tua yang menghubungkan desanya dengan dunia luar. Jembatan itu rapuh, namun bagi Adi, jembatan itu adalah simbol dari impiannya---melihat dunia yang lebih luas.

Suatu hari, saat ia duduk di sana, seorang lelaki tua menghampirinya. Lelaki itu berpakaian lusuh, dengan topi jerami yang menutupi sebagian wajahnya. Adi tak pernah melihatnya sebelumnya. "Kau sering di sini, ya, Nak?" tanya lelaki tua itu sambil tersenyum. Suaranya lembut, seperti angin yang menyapa daun-daun di sore hari.

Adi mengangguk. "Iya, Pak. Saya suka melihat sungai ini. Indah sekali."

Lelaki tua itu duduk di samping Adi. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati gemericik air dan keheningan yang menyelimuti sore. "Adi," katanya pelan, "apa kau pernah berpikir untuk mencari kebahagiaan yang lebih besar?"

Adi menoleh, sedikit terkejut. "Maksud Bapak?"

Lelaki itu menatapnya dalam-dalam. "Ada jalan menuju kebahagiaan yang jauh lebih besar, jauh melampaui apa yang bisa kau bayangkan di desa ini."

Adi terdiam. Jembatan tua itu kembali terlintas di benaknya. "Apa jalan itu melewati jembatan ini?" tanyanya, setengah bercanda.

Lelaki tua itu tersenyum tipis. "Mungkin saja. Tapi jika kau ingin menemukannya, kau harus siap meninggalkan apa yang kau miliki sekarang."

Kata-kata itu terus berputar di kepala Adi. Malamnya, ia tak bisa tidur. Jembatan itu, dunia luar, kebahagiaan yang lebih besar---semuanya terasa seperti mimpi yang menggodanya untuk melangkah. Tapi... bisakah ia meninggalkan semuanya?

Esok harinya, Adi mengambil keputusan. Ia berdiri di depan jembatan tua itu. Di balik jembatan, terbentang jalan menuju kota, menuju dunia yang belum pernah ia jamah.

Lelaki tua itu berdiri di sampingnya, tersenyum penuh arti. "Kau siap?" tanya lelaki tua itu.

Adi mengangguk, meski hatinya masih gamang. Ia melangkah ke atas jembatan. Setiap langkah terasa berat, namun ada getaran aneh dalam dirinya, seakan-akan ia mendekati sesuatu yang besar.

Ketika ia mencapai tengah jembatan, tiba-tiba jembatan itu bergoyang. Tanpa peringatan, kayu-kayunya mulai runtuh. Adi berteriak, mencoba mencari pegangan, namun ia terjatuh ke dalam sungai yang deras. Air sungai menelannya bulat-bulat, dan dalam sekejap, semuanya menjadi gelap.

Namun, ketika ia membuka mata, Adi tidak menemukan dirinya di dasar sungai. Ia berada di suatu tempat yang asing, tempat yang sama sekali tak pernah ia bayangkan. Di sekelilingnya, hanya ada hamparan emas dan cahaya terang yang menyilaukan.

Di sana, lelaki tua itu sudah menunggunya. Tapi kali ini, ia tampak berbeda---wajahnya bersinar dan tubuhnya tegap, seolah-olah ia adalah sosok yang agung. "Kau sudah menemukan kebahagiaan terbesarmu, Adi," kata lelaki itu dengan suara yang terdengar menggema.

Adi bingung. "Apa maksud Bapak? Di mana ini?"

Lelaki itu menatapnya dalam-dalam, senyum yang penuh makna tersungging di wajahnya. "Kebahagiaan terbesar adalah saat kau sadar bahwa semua yang kau cari di luar sana sudah ada di dalam dirimu. Kau tidak perlu menyeberangi jembatan itu. Kebahagiaanmu sudah lengkap."

Seketika, Adi tersadar. Ia sudah bahagia selama ini---bahagia dengan hal-hal kecil yang ia miliki. Perjalanannya mencari lebih ternyata hanya ilusi. Dunia luar yang ia impikan hanyalah cermin dari apa yang sudah ada dalam hatinya.

Ketika Adi tersadar sepenuhnya, ia kembali berada di tepi sungai, dengan jembatan tua yang utuh di belakangnya. Lelaki tua itu hilang, dan Adi tahu, ia telah menemukan kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik senyum sederhana hidupnya.

TAMAT

"Orang yang tahu cara bersyukur adalah orang yang bisa menikmati keindahan dunia dan arti kebahagiaan hidup". - Steve Maraboli

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun