"Pergilah.," kata orang tua itu. Suaranya terdengar dalam. "Bawa lentera itu bersamamu."
Pengelana ragu. Dia menatap lentera di tangannya, lalu menatap orang tua itu. "Kenapa kau tidak ikut?" tanya pengelana.
Orang tua itu tersenyum tipis. "Aku sudah berada di sini terlalu lama. Dunia ini... sudah terlalu lama memelukku. Sekarang giliranmu."
Pengelana tak punya pilihan. Dia melangkah maju, lentera di tangan. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, seolah lentera itu tidak hanya menyinari jalannya, tapi juga meringankan bebannya. Dunia di sekelilingnya mulai berubah.
Cahaya lentera itu perlahan memudar, bukan karena padam, tapi karena di depannya, fajar mulai menyingsing. Langit yang tadinya hitam kini mulai berwarna oranye lembut, dan dia menyadari bahwa harapan itu telah membawa dia ke ujung malam.
Pengelana terkejut saat lentera di tangannya hilang. Ia terdiam, menatap tangannya yang kini kosong. Matanya menangkap sesuatu di tanah. Sebuah tulisan. Digoreskan dengan kasar di atas pasir, namun cukup jelas untuk dibaca. "Cahaya yang kau cari, sesungguhnya selalu ada di dalam dirimu sendiri."
Saat itu juga, pengelana sadar. Lentera yang terus menyala bukanlah benda fisik, bukan juga sekadar alat yang menerangi jalan. Harapan yang dia temukan bukanlah sesuatu yang bisa dipegang. Cahaya itu, harapan itu, selalu ada di dalam dirinya, menyala tanpa henti, bahkan ketika segalanya tampak gelap.
Dan pada saat itulah, dunia di sekelilingnya runtuh. Langit berubah menjadi serpihan kaca yang pecah, pasir gurun menguap menjadi udara kosong. Pengelana tersadar: selama ini, dia tidak pernah berjalan di dunia nyata. Semua ini hanya bayangan dari pikirannya sendiri---labirin yang ia ciptakan untuk mencari apa yang sesungguhnya tak pernah hilang.
Dalam sekejap, dia terbangun. Pengelana itu adalah seorang pasien yang sedang koma di rumah sakit. Matanya terbuka perlahan, dan di sana, di sekeliling tempat tidurnya, berdiri keluarganya yang penuh harapan.
TAMAT
"Harapan adalah kemampuan untuk melihat bahwa ada cahaya meskipun semua dalam kegelapan." - Desmond Tutu