Di tengah hamparan gurun malam yang pekat, seorang pengelana melangkah dengan berat. Angin dingin menggigit kulit, sementara kakinya merayap di atas pasir yang dingin seperti es. Langit hitam tanpa bintang, seolah memutus semua jembatan antara bumi dan langit. Hanya ada suara napasnya yang terengah, mengikuti ritme hatinya yang berdebar, satu-satunya teman setia dalam kegelapan ini.
Dalam kesunyian yang nyaris sempurna, tiba-tiba, dari kejauhan, pengelana itu melihat seberkas cahaya. Cahaya itu kecil, berkedip samar-samar, namun tetap terang di tengah malam yang menelan segalanya. Dia mempercepat langkah, hati yang tadinya nyaris menyerah kini kembali memancar harapan. Lentera, pikirnya. Sebuah tanda kehidupan.
Setelah berjalan berjam-jam, akhirnya dia tiba di sumber cahaya itu. Di hadapannya, berdiri sebuah lentera tua yang tergantung di sebuah tiang kayu, sendirian, tanpa satu pun tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Pengelana mendekat, memeriksa lentera itu. Aneh. Tidak ada minyak di dalamnya, tidak ada api yang nyata menyala, namun cahaya itu tetap terang, seakan datang dari sumber yang tak kasatmata.
"Kau siapa?" tiba-tiba suara parau muncul dari balik tiang kayu itu.
Pengelana terkejut. Dari bayang-bayang tiang, muncul seorang lelaki tua berjubah lusuh. Wajahnya kering, seakan telah lama disapa oleh waktu dan sengatan matahari. Matanya menatap tajam, tapi ada kelembutan di sana, semacam pengetahuan yang dalam.
"Aku hanya seorang yang tersesat," jawab pengelana, "Mencari jalan keluar dari kegelapan ini."
Orang tua itu mengangguk pelan, lalu menatap lentera yang terus bersinar. "Lentera ini," katanya dengan suara lembut, "adalah harapan yang tak pernah mati. Meski dunia runtuh, lentera ini akan tetap menyala, selama masih ada yang mempercayainya."
Pengelana itu menatap lentera itu dengan takjub. Bagaimana lentera ini bisa terus menyala tanpa minyak, tanpa api? Apa rahasia di baliknya?
"Aku bisa membawamu keluar dari kegelapan ini," lanjut orang tua itu. "Namun, kau harus membawa lentera ini bersamamu. Jika cahayanya padam, harapanmu akan musnah."
Tanpa ragu, pengelana meraih lentera itu. Hangat, meski tak ada api di sana. Dan cahaya itu... begitu damai. Sejenak, dunia terasa lebih terang.
"Pergilah.," kata orang tua itu. Suaranya terdengar dalam. "Bawa lentera itu bersamamu."
Pengelana ragu. Dia menatap lentera di tangannya, lalu menatap orang tua itu. "Kenapa kau tidak ikut?" tanya pengelana.
Orang tua itu tersenyum tipis. "Aku sudah berada di sini terlalu lama. Dunia ini... sudah terlalu lama memelukku. Sekarang giliranmu."
Pengelana tak punya pilihan. Dia melangkah maju, lentera di tangan. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, seolah lentera itu tidak hanya menyinari jalannya, tapi juga meringankan bebannya. Dunia di sekelilingnya mulai berubah.
Cahaya lentera itu perlahan memudar, bukan karena padam, tapi karena di depannya, fajar mulai menyingsing. Langit yang tadinya hitam kini mulai berwarna oranye lembut, dan dia menyadari bahwa harapan itu telah membawa dia ke ujung malam.
Pengelana terkejut saat lentera di tangannya hilang. Ia terdiam, menatap tangannya yang kini kosong. Matanya menangkap sesuatu di tanah. Sebuah tulisan. Digoreskan dengan kasar di atas pasir, namun cukup jelas untuk dibaca. "Cahaya yang kau cari, sesungguhnya selalu ada di dalam dirimu sendiri."
Saat itu juga, pengelana sadar. Lentera yang terus menyala bukanlah benda fisik, bukan juga sekadar alat yang menerangi jalan. Harapan yang dia temukan bukanlah sesuatu yang bisa dipegang. Cahaya itu, harapan itu, selalu ada di dalam dirinya, menyala tanpa henti, bahkan ketika segalanya tampak gelap.
Dan pada saat itulah, dunia di sekelilingnya runtuh. Langit berubah menjadi serpihan kaca yang pecah, pasir gurun menguap menjadi udara kosong. Pengelana tersadar: selama ini, dia tidak pernah berjalan di dunia nyata. Semua ini hanya bayangan dari pikirannya sendiri---labirin yang ia ciptakan untuk mencari apa yang sesungguhnya tak pernah hilang.
Dalam sekejap, dia terbangun. Pengelana itu adalah seorang pasien yang sedang koma di rumah sakit. Matanya terbuka perlahan, dan di sana, di sekeliling tempat tidurnya, berdiri keluarganya yang penuh harapan.
TAMAT
"Harapan adalah kemampuan untuk melihat bahwa ada cahaya meskipun semua dalam kegelapan." - Desmond Tutu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H