Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kanvas Usang

7 September 2024   06:44 Diperbarui: 7 September 2024   08:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/vector_corp 

Mobil berhenti dan seketika kepala Leo tidak lagi berdenyut. Pria itu membuka pintu perlahan, sejenak mempersilakan angin segar pedesaan menghambur masuk ke dalam mobil tuanya yang sudah terlalu sering menghirup udara kota yang penuh polusi. Ia menutup pintu di belakang setelah keluar dari mobil. Sol sepatunya menghasilkan suara yang cukup berisik saat bergesekan dengan bebatuan sementara matanya menyapu sekeliling seolah sedang mengingat-ingat.

Setiap sudut desa ini adalah galeri masa lalu; hutan di mana ia dulu berlari bersama kawan-kawannya saat bolos sekolah dan menghindari omelan guru; sungai tempatnya berenang sementara ayahnya memancing ikan mujair dan nila. Semua masih terlihat jelas di benaknya seperti sebuah lukisan yang terpampang nyata di sebuah museum.

Di hadapannya, berdiri sebuah rumah. Meskipun tua, tapi kokoh selama 30 tahun terakhir ini. Ibu keluar, memberikan Leo pelukan hangat. Pelukan yang dapat diartikan sebagai: "Kau akan baik-baik saja, malaikat kecilku."

Leo kena PHK sebulan yang lalu dari pekerjaannya di sebuah perusahaan asuransi. Kesulitan mencari pekerjaan membuatnya depresi. Psikolognya menyarankan untuk berlibur sejenak tanpa memikirkan pekerjaan. Yang terlintas di kepalanya hanyalah rumah. Ia ingin pulang ke rumah.

"Ibu tidak memindahkan semua barangmu," kata Ibu saat menunjukkan kamar Leo waktu kecil.

Leo mengangguk. Ibu pergi ke dapur, meninggalkannya sendiri bersama nostalgia. Semua masih di posisi semula. Foto masa kecil, poster bintang sepak bola, bahkan sampai lukisan-lukisan yang pernah ia buat. Leo terkekeh mengingat dulu ia sempat ingin jadi pelukis.

Leo melihat satu-persatu lukisannya. Semua karyanya menggunakan teknik realisme. Setiap bentuk dan warna terlihat begitu asli dan natural. Ia adalah pelukis alami. Namun, satu lukisan menarik perhatiannya. Ada seorang anak perempuan di lukisan tersebut. Leo tidak tahu siapa dia, karena wajahnya buram dan warna yang dapat ditangkap matanya hanya abu-abu, seakan anak perempuan ini tidak memiliki cerita dalam lukisannya. Leo bahkan tak yakin apa ia yang melukisnya.

"Kau tidak ingat?" tanya Ibu sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja. Dia Lisa. Cinta pertamamu."

Leo menggeleng, seolah tak percaya.

"Dia masih tinggal di sekitar sini," kata Ibu.

Sorenya Leo mendatangi rumah Lisa sambil membawa lukisannya. Tidak jauh dari sungai. Suara percik air mengikutinya sampai ke depan pintu. Leo mengetuk pintu rumah tiga kali. Degup jantungnya seirama dengan dentuman air yang menghantam bebatuan. Angin meniupkan bisikan sejuk yang anehnya membuat Leo semakin gugup.

Pintu terbuka.

"Lisa?" Leo bertanya.

Wanita itu mengangguk. "Leo. Sudah lama sekali." Matanya yang gelap membuat Leo dapat bercermin, melihat begitu banyak warna di dalamnya, seolah Lisa meneguk kehidupan untuk sehari-hari. Begitu kontras dengan lukisannya yang tak bernyawa.

Suara tangis bayi menghentikan lamunan Leo.

"Maaf, anakku suka rewel kalau sudah jam segini," Lisa memberi penjelasan.

"Aku akan kembali lagi lain waktu," kata Leo.

"Siapa itu?" seseorang muncul dari belakang Lisa.

"Rafa, ini---"

Kemudian, seperti sengatan listrik, ingatan Leo serta merta kembali, mengisi kekosongan dalam sel-sel memorinya, sementara warna-warna tergurat di kanvas usang berwajah Lisa yang digenggamnya. Kini, lukisan itu sepenuhnya berwarna!

Nama 'Rafa' menggelitik telinganya dalam cara yang hanya sebuah kemurkaan bisa lakukan. Rafa adalah sahabat masa kecilnya. Juga alasan mengapa hubungan Leo dan Lisa berakhir. Rafa merebut Lisa dari genggaman Leo dan membuat gadis itu mencampakkannya. Padahal Rafa tahu Leo telah menyimpan rasa pada Lisa sejak mereka SD. Bagi anak berusia 14 tahun, tak ada rasa sakit yang sebanding dengan ditinggal gadis idaman dan dikhianati sahabat dekat. Dan, melihat mereka masih bersama setelah sekian lamanya, membuat perut Leo bergemuruh oleh kecemburuan.

Dengan cepat, Leo meninggalkan mereka, meninggalkan masa lampau di belakangnya. Ia terus berjalan, menyusuri sungai dengan lukisan Lisa di antara ibu jari dan telunjuknya. Suara gemuruh semakin besar. Tapi kali ini tidak datang dari perutnya, melainkan dari langit. Seolah mendengar kata hatinya, awan bergumul meledakkan petir, sementara tetesan hujan mulai turun. Satu-persatu butiran mengenai lukisan Lisa, membasahi tiap bagian dari gambar anak perempuan itu yang kini telah bernyawa.

Hujan semakin deras, menyapu bersih setiap guratan di lukisan itu, menghilangkan tulisan 'Lisa Tersayang' dari kanvas usang Leo.

TAMAT

"Maafkan orang lain yang telah menyakitimu. Apa yang mereka lakukan sudah lewat. Yang mengganggu hari ini adalah perasaanmu saat ini yang berasal dari beban masa lalu. Lepaskan." - Chetan Bhagat

NOTE: Cerpen ini hasil kolaborasi aku dan putriku, Sasha Q (20 th). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun