Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pergi Berlibur

4 September 2024   20:10 Diperbarui: 4 September 2024   20:17 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
freepik.com/premium-ai-image/cartoon-chaos-elderly-couples-hilarious-driving-adventure

Malam itu, ketika cahaya rembulan enggan menampakkan diri dan kegelapan menutupi segalanya, sebuah mobil tua berderit melintasi jalan berkelok di perbukitan. Sepasang suami istri renta duduk di dalamnya, saling berpegangan tangan, merasakan gemuruh di dada yang tak kunjung reda. Mobil mereka berwarna merah marun, kini memudar termakan usia, tapi masih kokoh membawa mereka mengarungi malam.

"Apa kau yakin kita tidak tersesat?" tanya sang istri, suaranya bergetar.

Sang suami mengangguk pelan, meski di hatinya tersimpan keraguan yang sama. "Tenang saja, kita akan sampai di rumah anak-anak. Aku ingin menghabiskan waktu bersama mereka, terutama si kecil."

Kegelapan terus menyelimuti mereka, tak satu pun sinar matahari menyentuh wajah. Tiga hari berlalu, tapi pagi tak pernah datang. Mereka hanya melihat pemandangan yang sama---pohon-pohon kering, jalanan sepi, dan kabut yang menggantung tebal. Tiba-tiba, mesin mobil tersendat. Lalu berhenti. Bensin habis.

"Kita di mana ini?" tanya istrinya lagi.

Mereka melihat ke sekitar. Di depan, samar-samar, terlihat gerbang tua dengan tulisan yang hampir terhapus: Tempat Pemakaman Umum. Tanpa berkata apa-apa, mereka turun dari mobil, berjalan pelan ke dalam TPU tersebut. Langkah-langkah mereka semakin berat, seperti tertarik ke dalam kegelapan yang pekat.

Di rumah anak mereka, malam yang sama terasa sunyi. Telepon genggam berdering beberapa kali, menampilkan nama yang akrab: Bapak dan Ibu. Tapi tidak ada yang mengangkat. Sang suami tengah asyik menyiapkan koper, memeriksa ulang daftar barang bawaan untuk liburan keluarga. Di sebelahnya, istri tengah memasak, sibuk dengan wajan dan panci yang bergemeretak. Di kamar lain, cucu tenggelam dalam dunianya, bermain gim di ponsel, tanpa peduli pada suara notifikasi pesan yang masuk.

Cucu itu melirik sekilas, membaca pesan dari kakeknya: "Kami rindu kalian. Sedang dalam perjalanan, mungkin akan terlambat." Tanpa berpikir panjang, ia menghapus pesan tersebut dan kembali tenggelam dalam permainannya.

Waktu berlalu. Malam makin larut, dan panggilan itu tidak berhenti. Namun, semua orang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Keesokan paginya, sebuah berita menggemparkan menyebar di desa. Ditemukan sebuah mobil di dasar jurang, hancur tak berbentuk. Di dalamnya, sepasang tubuh renta, berpegangan tangan erat, sudah tak bernyawa. Berita itu sampai ke telinga keluarga yang semalam begitu asyik dengan rencana liburan mereka.

"Bagaimana mungkin?" isak sang suami yang merupakan anak dari pasangan renta itu, suaranya pecah. "Mereka... baru saja menelepon kita."

Dengan gemetar, ia memeriksa ponselnya. Di sana, panggilan tak terjawab dari nomor ayah dan ibu. Puluhan pesan menumpuk, terlewatkan dalam hiruk-pikuk persiapan liburan. Dia tertegun, memandangi pesan terakhir yang berbunyi: "Kami sudah dekat, menanti bertemu."

Rasa bersalah menghantam mereka seperti ombak yang tak terhindarkan. Masing-masing menatap layar ponsel mereka dengan perasaan hampa, berusaha memahami mengapa mereka tidak menjawab, tidak peduli pada pesan-pesan tersebut. Betapa mereka terlarut dalam kehidupan mereka sendiri, hingga lupa pada orang tua yang hanya ingin menghabiskan waktu bersama.

Sang cucu, yang sebelumnya acuh, kini merasa dadanya sesak. Ia teringat pada pesan yang dihapusnya tanpa membaca lebih lanjut. Ia tak pernah berpikir bahwa pesan itu mungkin yang terakhir dari kakek dan neneknya. Sekarang, satu-satunya hal yang tersisa adalah penyesalan.

Liburan yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi duka yang tak terucap. Rencana perjalanan yang telah mereka susun hancur berserakan, tak lagi penting. Dalam diam, mereka semua merasa kehilangan yang begitu dalam. Ternyata, liburan yang mereka pikir akan menjadi momen kebahagiaan, berakhir dengan kesedihan dan penyesalan.

Di tempat lain, di sebuah dimensi yang tak terlihat, sepasang suami istri renta itu berjalan bergandengan tangan di antara pepohonan yang tumbuh subur di dalam TPU. Mereka tidak lagi merasa lelah, tidak ada lagi rasa sakit. Di depan mereka, tampak sebuah pintu cahaya yang membawa ketenangan.

"Apakah kita telah sampai?" tanya sang istri.

Sang suami tersenyum, menggenggam tangan istrinya erat. "Ya, kita sudah sampai. Liburan kita akhirnya berakhir."

Dengan langkah perlahan, mereka berdua memasuki cahaya itu, menghilang dalam kedamaian abadi.

TAMAT

"Liburan bukanlah pelarian; ini adalah kesempatan berharga untuk berhubungan kembali dengan orang-orang terkasih dan membangun hubungan pribadi yang lebih kuat." --- Boris Johnson

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun