Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kunci Kehidupan

4 September 2024   16:08 Diperbarui: 7 September 2024   19:51 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/premium-ai-image/key-that-is-middle-world

Angin senja meniup lembut tirai jendela kamar itu, membuat cahaya matahari terakhir menari-nari di atas permukaan meja kerja yang selalu rapi. Di situ, seorang ayah tengah sibuk menatap layar komputernya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, menghasilkan deretan huruf yang membentuk kata-kata penuh makna.

Di sudut ruangan, seorang anak laki-laki duduk dengan tenang, matanya tak pernah lepas dari sosok ayahnya. Setiap kali sang ayah menyelesaikan pekerjaannya, selalu ada ritus yang ia lakukan. Ia akan memandang sebuah kunci perak di hadapannya, lama, seolah-olah merenungi setiap lekuk yang ada. Lalu, dengan gerakan penuh kehati-hatian, ia akan menaruh kunci itu di laci mejanya, dan tak lupa menguncinya.

"Ayah, itu kunci apa?" tanya anak itu suatu sore, ketika rasa penasaran yang telah lama ia pendam tak lagi bisa dibendung.

Sang ayah tersenyum lembut, senyuman yang selalu mampu menenangkan hatinya. "Ini kunci kehidupan, Nak," jawabnya, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Kata-kata itu berputar-putar di kepala anak laki-laki itu selama berhari-hari. Apa yang dimaksud dengan kunci kehidupan? Mengapa ayah begitu menjaga kunci itu dengan sangat hati-hati? Apa yang disembunyikan di balik laci itu?

Suatu hari, tanpa diduga, ayahnya pergi bekerja dan lupa mengunci laci. Kesempatan yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan jantung berdebar, anak itu berjalan perlahan ke meja kerja ayahnya. Tangannya yang mungil meraih kunci yang telah lama menjadi misteri itu. Ia merasa ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya saat kunci itu berada dalam genggamannya, sesuatu yang membuatnya merasa lebih dewasa.

Ia mencoba memasukkan kunci itu ke berbagai lubang kunci di rumah, namun tak ada satupun yang pas. Sampai akhirnya ia tiba di depan sebuah brankas tua yang terletak di sudut ruang kerja. Dengan hati-hati, ia memasukkan kunci itu. Klik! Brankas itu terbuka, memperlihatkan tumpukan uang yang tersusun rapi di dalamnya. Anak itu terkejut sekaligus girang. Uang sebanyak itu? Untuk apa?

Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju meja kerja ayahnya untuk memberi tahu penemuannya. Namun, ketika ia sampai di sana, ia terpaku. Seorang lelaki tua duduk di bangku ayahnya, tertidur dengan wajah damai. Tapi tunggu, itu bukan orang lain---itu adalah ayahnya! Sang ayah, dengan rambut yang sudah sepenuhnya memutih, kerutan di wajah yang dalam, dan napas yang kini tak lagi berhembus!

Kegelisahan menyergap anak itu. Ia berlari menuju cermin di ruangan itu dan ketika ia melihat pantulan dirinya, ia terkejut. Bayangan yang tampak di cermin bukanlah anak kecil yang ia kenal, melainkan seorang pemuda dewasa, dengan mata yang penuh kebingungan. Waktu seolah berlari tanpa sepengetahuannya.

Dengan penuh rasa penyesalan ia ingin mengembalikan kunci kehidupan ke dalam tempat semula. Tangannya gemetar saat membuka laci meja kerja ayahnya. Di sana, di bawah tempat kunci itu biasa disimpan, ada sepucuk surat yang terlipat rapi. Dengan hati-hati, ia menariknya keluar dan membuka lipatannya.

"Untuk Anakku Tercinta," demikian surat itu dimulai.

"Sekarang kamu sudah dewasa, Nak. Ayah hanya bisa menemanimu sampai di sini. Uang dalam brankas itu adalah bekal yang ayah kumpulkan selama bertahun-tahun untukmu. Gunakanlah dengan bijak, bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarmu. Ayah yakin kamu bisa jauh lebih sukses dari ayah, dalam segala hal yang kamu lakukan. Ayah percaya padamu. Jadilah orang yang bermanfaat, dan ingatlah selalu untuk menjaga hati dan niatmu. Karena itulah kunci sebenarnya dari kehidupan."

"Salam sayang, Ayah."

Dengan perlahan, ia menutup surat itu, meletakkannya kembali di laci, dan mengunci laci itu dengan hati-hati, seperti yang ayahnya lakukan selama bertahun-tahun. Kini ia tahu, bahwa hidupnya baru saja dimulai. Ia kini siap melangkah, dengan beban yang lebih ringan dan hati yang penuh keyakinan.

Senja berganti malam, dan di ruangan itu, seorang pemuda duduk merenung, dengan kunci kehidupan di tangannya, siap membuka pintu masa depannya.

TAMAT

"Kunci kehidupan adalah menjaga keseimbangan. Terutama jika kamu sedang berada di ujung tebing." - Demetri Martin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun