Arif kembali ke masanya dengan uang itu masih di tangannya. Dia memekik kegirangan dalam hati. Tapi sesuatu terasa berbeda. Rumahnya terasa lebih dingin, sepi. Dia memanggil-manggil ibunya, tapi tak ada jawaban. Rasa takut mulai menjalari dirinya. Dia berlari ke kamar ibunya, hanya untuk mendapati ranjang yang kosong. Hati Arif semakin tenggelam dalam keputusasaan.
Tetangganya kemudian datang, membawa kabar pahit. Ibunya telah lama sakit sejak dia menghilang tiba-tiba. Waktu yang telah dia habiskan di masa depan telah membuat ibunya menua dan akhirnya meninggal dalam kesendirian. Arif menjerit dalam hati, menyesali kebodohannya. Dalam kepanikan, dia meraih jam tangan itu lagi, mencoba memutar jarum ke belakang, berharap bisa memperbaiki segalanya.
Namun, nasib berkata lain. Jam itu retak dan rusak di tangannya. Jarum-jarumnya berhenti bergerak, tak lagi bisa diputar. Keajaiban yang pernah ia kagumi kini menjadi kutukan yang tak terelakkan. Dia memang kembali dengan segepok uang, tapi tanpa ibunya, segalanya terasa hampa. Kekayaan yang dia peroleh di masa depan tak mampu mengembalikan apa yang telah hilang---cinta dan kasih sayang ibunya.
Dalam keheningan, Arif duduk di sudut kamar, memeluk jam tangan itu dengan erat, berharap bisa merasakan kembali kehangatan yang pernah ada. Namun, yang tersisa hanya penyesalan, kenangan pahit akan sebuah keajaiban yang berubah menjadi tragedi.
Dan begitulah, jam ajaib itu, yang pernah memberinya harapan, kini menjadi saksi bisu dari kehilangan terbesar dalam hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H