Hampir tak ada hari yang lebih membekas di ingatan Arif selain hari itu, hari ketika ayahnya menyerahkan sebuah jam tangan tua dengan kaca yang sudah agak buram. Mata ayahnya menatapnya dalam-dalam, seolah ada pesan yang tak terucap di balik senyum tipis yang menghiasi bibirnya.
"Ini jam ajaib," kata ayahnya dengan suara serak yang sudah lama tak terdengar. Arif saat itu hanya menatap jam itu tanpa minat. "Kenapa disebut ajaib, Yah?"
Ayahnya tidak menjawab. Hanya menggenggam tangan Arif dengan lemah, seperti hendak menitipkan sesuatu yang tak terlihat. Tak lama kemudian, ayahnya mengembuskan napas terakhir, meninggalkan Arif dengan seribu pertanyaan yang tak pernah terjawab.
Beberapa bulan berlalu, Arif mulai terbiasa hidup tanpa kehadiran ayahnya. Setiap pagi, ibunya, yang bekerja sebagai babu cuci, akan membangunkannya dengan suara lembut meski dirinya sendiri kelelahan setelah seharian bekerja. Namun, pagi itu berbeda. Ibunya terlalu lelah untuk bangun lebih awal, dan Arif pun terbangun terlambat. Panik, dia mengutuk diri sendiri. Pikirannya penuh dengan bayangan hukuman dari guru karena terlambat.
Tiba-tiba, dia teringat jam tangan tua yang diberikan ayahnya. Dengan seulas senyum getir, dia meraih jam itu dari laci. Tanpa berpikir panjang, dia iseng memutar jarum jamnya ke belakang, berharap bisa memperbaiki waktu yang telah hilang.
Dan seolah dunia berkonspirasi dalam keajaiban yang tak pernah ia bayangkan, tiba-tiba dia mendapati dirinya kembali di atas ranjang, mata masih berat karena kantuk. Detik itu juga dia sadar, waktu benar-benar mundur. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Arif bergegas bangun dan bersiap dengan cepat. Dia tiba di sekolah tepat waktu, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Hari itu, jam tangan itu menjadi pusat perhatiannya. Bukan karena ia takjub pada keajaibannya semata, melainkan karena rasa penasaran yang semakin menggerogoti. Di tengah malam, ketika sunyi menelan riuh rendah dunia, dia melihat ibunya yang baru saja pulang kerja dengan langkah letih. Wajahnya yang mulai menua seolah menyimpan banyak beban yang tak pernah terungkapkan.
"Apa yang akan terjadi padaku di masa depan?" gumamnya perlahan, memegang jam tangan itu. Mungkin, dengan memutar jarum jam ke depan, dia bisa melihat masa depannya. Bisa jadi, dia akan menjadi seseorang yang bisa membahagiakan ibunya, seseorang yang akan menghapuskan segala letih dan deritanya.
Arif memutar jarum jam itu maju, jauh ke depan. Sekelilingnya berputar, pandangannya kabur, dan dunia pun lenyap sejenak. Ketika dia membuka mata, dia terkejut melihat dirinya terbaring di atas ranjang empuk, di dalam sebuah kamar besar yang indah. Dindingnya berhiaskan lukisan-lukisan mahal, dan segala sesuatu di sana berselimutkan kemewahan. Dengan tangan gemetar, dia bergegas mencari cermin.
Di hadapannya, seorang pria dewasa dengan setelan jas rapi dan wajah penuh wibawa berdiri tegap. Itu dirinya, tapi dalam wujud yang tak pernah dia bayangkan. Di meja kerjanya yang besar, ada segepok uang yang menggunung. Dengan rasa girang yang tak terlukiskan, Arif meraih uang itu. Dia berpikir, dengan uang ini, dia bisa kembali ke masa lalu dan memberikan semuanya kepada ibunya, mengubah nasib keluarganya.
Arif kembali ke masanya dengan uang itu masih di tangannya. Dia memekik kegirangan dalam hati. Tapi sesuatu terasa berbeda. Rumahnya terasa lebih dingin, sepi. Dia memanggil-manggil ibunya, tapi tak ada jawaban. Rasa takut mulai menjalari dirinya. Dia berlari ke kamar ibunya, hanya untuk mendapati ranjang yang kosong. Hati Arif semakin tenggelam dalam keputusasaan.
Tetangganya kemudian datang, membawa kabar pahit. Ibunya telah lama sakit sejak dia menghilang tiba-tiba. Waktu yang telah dia habiskan di masa depan telah membuat ibunya menua dan akhirnya meninggal dalam kesendirian. Arif menjerit dalam hati, menyesali kebodohannya. Dalam kepanikan, dia meraih jam tangan itu lagi, mencoba memutar jarum ke belakang, berharap bisa memperbaiki segalanya.
Namun, nasib berkata lain. Jam itu retak dan rusak di tangannya. Jarum-jarumnya berhenti bergerak, tak lagi bisa diputar. Keajaiban yang pernah ia kagumi kini menjadi kutukan yang tak terelakkan. Dia memang kembali dengan segepok uang, tapi tanpa ibunya, segalanya terasa hampa. Kekayaan yang dia peroleh di masa depan tak mampu mengembalikan apa yang telah hilang---cinta dan kasih sayang ibunya.
Dalam keheningan, Arif duduk di sudut kamar, memeluk jam tangan itu dengan erat, berharap bisa merasakan kembali kehangatan yang pernah ada. Namun, yang tersisa hanya penyesalan, kenangan pahit akan sebuah keajaiban yang berubah menjadi tragedi.
Dan begitulah, jam ajaib itu, yang pernah memberinya harapan, kini menjadi saksi bisu dari kehilangan terbesar dalam hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H