Pada senja yang muram, langit kelabu menggantung rendah di atas kota kecil tempat Tania tinggal. Angin yang lembut namun penuh dengan rasa takut menyapu daun-daun kering yang berserakan di jalanan. Tania sedang duduk di ruang tamunya, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Seharian itu ia merasa lelah, seperti ada beban berat yang menggelayut di pundaknya.
Penyakit yang selama ini membayangi hidupnya membuatnya harus selalu waspada. Tubuhnya mudah rapuh, mudah jatuh ke dalam pelukan gelap pingsan jika keletihan menyerangnya. Dalam dunia medis namanya sinkop vasovagal. Tania bisa pingsan jika stres, takut, dan kelelahan fisik. Kata dokter itu akibat penurunan aliran darah ke otak.
Namun, dalam kehidupannya yang dibatasi oleh penyakit, ada satu sosok yang menjadi cahayanya. Edo, pacarnya, seorang pemuda yang dewasa, penuh perhatian, dan selalu hadir dengan senyum menenangkan. Edo bukan hanya kekasih, dia adalah sandaran bagi Tania. Setiap kali ia merasa dunia terlalu berat, Edo akan ada di sisinya, membisikkan kata-kata yang membuat Tania merasa kuat, seolah-olah ia bisa menaklukkan dunia.
"Edo, apa aku bisa hidup seperti orang lain? Melakukan apa yang mereka lakukan?" tanya Tania suatu hari saat mereka duduk berdua di taman kota.
Edo tersenyum, matanya memancarkan ketulusan yang tak tergoyahkan. "Tania, kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau. Hanya kamu yang bisa menentukan batasan dirimu. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menjadi sayap yang membuatmu terbang tinggi ke langit mengejar semua cita-citamu."
Kata-kata itu menjadi mantra dalam hati Tania. Ia tahu, dengan Edo di sisinya, ia bisa melangkah maju, meskipun terkadang langkahnya terasa goyah. Hingga pada suatu hari, sebuah bencana mengubah segalanya.
Pagi itu, bumi berguncang dengan kekuatan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Tanah bergetar, bangunan berderak, dan langit seakan berteriak dalam kesakitan. Tania sedang berada di kamarnya saat gempa itu terjadi. Ia mendengar suara reruntuhan di sekelilingnya, dan dalam sekejap, dinding rumahnya mulai retak dan bergoyang. Ketakutan menyergapnya, tubuhnya membeku.
"Edo!" Tania berteriak memanggil nama kekasihnya, berharap ia bisa datang seperti biasanya, menenangkan hatinya yang bergolak. Dan seolah menjawab panggilannya, Edo muncul dari balik pintu. "Tania, cepat keluar!" suaranya tegas, memerintahkan Tania untuk segera menyelamatkan diri.
Namun, saat Tania berusaha melangkah, sebuah dinding besar mulai runtuh ke arahnya. Dalam sekejap, Edo melompat dan menahan reruntuhan itu dengan sekuat tenaga. "Cepat, Tania! Lari!" perintahnya, suaranya terdengar tercekik oleh beratnya beban yang ia tahan.
Dengan sekuat tenaga, Tania berlari keluar rumah. Baru beberapa langkah, tubuhnya yang lemah tak mampu menahan ketegangan itu. Dunianya menjadi gelap, dan ia pun terjatuh, pingsan di ambang pintu.
Saat Tania terbangun, ia berada di sebuah ruangan putih yang asing. Lampu-lampu neon di langit-langit bersinar dingin, dan suara mesin medis berdetak pelan di sampingnya. Ia menyadari dirinya berada di rumah sakit. Tubuhnya terasa berat, namun matanya segera menangkap sosok yang berdiri di sisinya. Edo, dengan senyum yang tak pernah pudar, memegang tangannya.
"Tania, kamu selamat. Setelah ini, aku yakin, kamu pasti bisa melakukan apapun yang kamu mau. Aku bangga padamu!"
Tania mengangguk, air mata menggenang di matanya. "Edo, aku takut... Aku takut kehilanganmu."
Edo hanya tersenyum, senyum yang begitu menenangkan. "Kamu tidak akan pernah kehilangan aku, Tania. Aku akan selalu ada di sisimu, di hatimu."
Tania ingin memeluk Edo, merasakan kehangatannya, namun tubuhnya terlalu lemah. Dan penyakit itu pun kembali menyergapnya. Dunia Tania seketika gelap.
Ketika Tania terbangun lagi, hari sudah malam. Ia melihat sekeliling, mencari sosok Edo. Tak lama kemudian, seorang dokter datang menghampirinya. "Nona Tania, saya ingin memberitahukan sesuatu yang penting," ucapnya hati-hati. "Edo adalah salah satu korban yang tidak selamat dalam gempa tadi. Ia tertimpa reruntuhan dinding saat menyelamatkanmu."
Dunia Tania runtuh seketika. Air matanya mengalir deras, hatinya hancur mendengar kabar itu. Tania merasa hidupnya kosong. Namun, di balik kehampaan itu, ia merasakan dorongan yang kuat untuk melanjutkan hidup, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Edo. Ia ingat janjinya pada Edo, bahwa ia akan melakukan apa yang ia mau, bahwa ia akan kuat dan tidak menyerah.
Tania mulai bangkit. Ia membantu para korban bencana, menggalang dana, dan mendirikan posko bantuan. Tania menjadi lebih aktif dalam kegiatan sosial, menulis buku tentang pengalamannya, dan menjadi pembicara yang menginspirasi banyak orang. Ia membuka yayasan nirlaba yang didedikasikan untuk orang-orang yang memiliki penyakit seperti dirinya, memberi mereka harapan dan dukungan yang selama ini ia dapatkan dari Edo. Setiap langkah yang ia ambil, Tania merasa Edo ada di sana, di sisinya, tersenyum bangga.
TAMAT
"Jangan menyia-nyiakan hidupmu dengan menunggu datangnya sayap. Tapi yakinlah bahwa kamu mampu untuk terbang sendiri, sekalipun tanpa sayap." - Audrey Gene
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H