Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis skenario film alumni Madinah yang berbisnis e-book. Tersedia buku-buku religi, motivasi, misteri, family dll. Untuk pemesanan silahkan ke https://lynk.id/ahmadrmadani. Terima kasih sudah mampir dan membaca karya tulis saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Peramal Masa Depan

2 September 2024   18:17 Diperbarui: 2 September 2024   18:24 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/free-photo/fortune-teller-with-crystal-globe-medium-shot

Desi dan Maya, dua sahabat remaja, berkunjung ke sebuah taman hiburan, dengan teriakan kegembiraan dan tawa riuh yang memenuhi udara. Saking serunya tangan Desi menumpahkan minuman jus ke baju Maya sehingga warnanya membekas. Desi minta maaf sambil berusaha menghapus nodanya dengan saputangan. Detik berikutnya mereka sudah melupakan kejadian itu dan kembali larut dalam keceriaan.

Di antara berbagai atraksi dan wahana, mereka tertarik pada sebuah bilik yang dikelilingi tirai merah tua dan dihiasi dengan lampu berkelip yang memancarkan cahaya lembut. Di pintu masuk, tertulis dengan huruf emas: Peramal Masa Depan.

Dengan rasa ingin tahu yang membara, mereka memasuki bilik itu, dindingnya tertutup tirai hitam yang menambah suasana misterius. Di tengah ruangan, duduklah seorang wanita tua yang wajahnya tersembunyi di balik tirai kerutan dan sorban kuno. Wanita itu menyambut mereka dengan senyuman samar dan jari-jari tangannya yang keriput menyentuh kartu-kartu tarot yang tersebar di meja.

Desi, dengan mata penuh harapan, duduk di hadapan wanita peramal. "Saya ingin tahu tentang masa depan saya," katanya, suaranya bergetar penuh antusiasme.

Wanita itu memandang Desi dengan tatapan mendalam, seolah menembus jiwanya. Setelah beberapa saat, dia mulai membacakan ramalan dengan lembut, suaranya seperti bisikan angin. "Kau akan menikah dengan seorang lelaki kaya. Hidupmu akan dipenuhi dengan kesuksesan dan kemewahan. Masa depanmu gemerlap, penuh kebahagiaan."

Desi tersenyum lebar, membayangkan hidup yang cerah di depan mata. Dia merasa seolah seluruh dunia terbuka untuknya.

Giliran Maya. Dia duduk dengan penuh kehati-hatian, matanya penuh kecemasan. Wanita tua itu meraih kartu-kartu lain, menatap Maya dengan tatapan yang mengandung campuran keprihatinan dan rasa ingin tahu. "Ramalanmu berbeda," wanita itu berkata dengan nada melankolis. "Kau akan mati muda, dalam sebuah kecelakaan tragis."

Kata-kata itu seperti tamparan keras bagi Maya. Ada hawa dingin yang menyusup ke dalam jiwanya. Dia menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir menetes. Desi mencoba menghiburnya, tetapi suasana hati Maya tetap muram.

Tahun-tahun berlalu. Maya, kini seorang dokter sukses yang berpraktek di sebuah rumah sakit besar milik suaminya. Dia hidup dalam kemewahan yang kadang masih terasa seperti mimpi. Suatu hari, Maya mendapati seorang pasien wanita kumal yang tak sadarkan diri akibat kasus tabrak lari. Darah menutupi sebagian wajahnya. Tapi Maya masih mengenalinya. Dialah Desi, sahabatnya dulu. Maya berusaha keras untuk menyadarkannya. Tapi takdir berkata lain. Desi akhirnya meninggal dunia, meninggalkan luka yang mendalam di hati Maya.

Belakangan Maya tahu kalau Desi terjerembap ke dalam kehidupan yang suram. Ia menjadi seorang gembel jalanan, terjebak dalam siklus kemiskinan dan penderitaan. Dunia telah mengabaikan nasibnya, mengubah impian cerahnya menjadi kenyataan pahit.

Dengan kesedihan yang membekas, dan rasa penasaran yang membuncah, Maya terdorong untuk kembali ke bilik peramal, mencari jawaban atas kebingungannya. Ia merasa wanita tua itu salah dalam meramalkan masa depan mereka. Maya memasuki bilik, di mana wanita tua itu masih duduk dengan posisi yang sama. Anehnya, ia seolah tidak tergerus oleh waktu. Tak ada sedikit pun tanda-tanda menua. Maya tertegun saat melihat dirinya. Dia sama seperti saat masih remaja dulu! Bahkan ia mengenakan baju dengan bekas noda yang sama! Apakah ia tergelincir kembali ke masa lalu? Atau apa yang ia alami selama ini sesungguhnya belum terjadi?

Wanita tua itu memandang Maya dengan tatapan keheranan. "Kenapa kembali? Mana temanmu?" 

TAMAT

"Cara terbaik untuk meramalkan masa depan adalah dengan menciptakannya."

- Abraham Lincoln

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun