Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Artikel Utama

Dongeng untuk Jokowi #4: Sejuta Mimpi Siti

29 Desember 2015   06:29 Diperbarui: 9 Januari 2016   02:05 1931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sebagian besar cerita yang terdapat dalam “Dongeng untuk Jokowi” ini dibuat berdasarkan kisah nyata, dengan rencana dicetak dan diedarkan di Taiwan dalam bentuk novel).

***

Kuhirup napas dalam-dalam secara amat perlahan, sebelum akhirnya aku mulai mengetik laporan, ditujukan kepada Yang Terhormat Bapak Presiden. Sebuah laporan, yang benar-benar paling singkat yang pernah ada dalam sejarah.

“Tepat saat kaki mereka berhenti berlari, semesta hening.”

Tapi baru saja aku hendak memasukan laporan super ringkas tersebut ke dalam amplop resmi kenegaraan, ketika sebuah ingatan kembali merenggutku dari kesadaran akan kekinian, dan membawaku dalam kembara pada peristiwa sebelumnya.

Sebuah kisah tentang Siti di Surabaya sana, yang dengan segala suram yang dimilikinya, tetap berusaha sekuat daya, agar tetap mampu menjelma kuntum-kuntum cahaya bagi diri dan sesamanya.

Apakah hidup memang melulu terkesan tak adil? Atau justru di sanalah logika proses keadilan Tuhan menyinggasana, hingga Dia ciptakan setiap diri berbeda dengan yang lainnya, dengan tempaan pengalaman yang juga tak pernah sama, demi peran yang kelak juga berbeda, sesuai dengan gurat nasib serta gores takdir terbesar yang harus dijalani?

***

kita adalah

manusia-manusia tanpa batas

warna, atau kelas

yang terlahir dari benih

kecurangan

dan ketidak adilan

adalah pilar–pilar peradaban

yang hanya akan                                                     

saling mengokohkan, kuat

ketika simpul salam berkait erat

(‘Simfoni yang Tak Pernah Usai’ dalam ‘Di Bawah Kibaran Dosa’)

 

“Aku sudah membayarmu mahal malam ini. Kamu milikku. Telah kubeli keperawananmu seharga tiga juta secara kontan…!” seringai lelaki di hadapanku dengan tatap yang amat rakus, membuatku hanya mampu memandang bingung tanpa tahu apa yang tengah terjadi.

Aku menjerit dan meronta saat lelaki itu mencoba menjamahku. Tapi berapakah kekuatan bocah usia sepuluh tahun, hingga mampu melawan lelaki dengan mata merah dan mulut berbau alkohol itu?

Aku terus berteriak-teriak. Hanya saja kepedulian sepertinya telah menjadi sesuatu yang amat langka di komplek lokalisasi ini, membuat lelaki tersebut kian beringas melucuti pakaianku.

Aku tetap berontak, mencakar dan memukul dengan membabi buta. Namun semua usahaku berakhir sia-sia.

Bau minuman keras kembali menyengat ketika lelaki itu menindih paksa diriku. Tangannya liar menggerayangi tubuh mungilku, meremas dadaku dengan amat kasar, dan…

Aku menjerit sejadi-jadinya saat kurasakan sebuah benda tumpul berusaha menyelusup ke dalam organ kewanitaanku.

***

Kutembus pekat malam dengan wajah bersimbah air mata. Jutaan ketakutan memburuku dari segala penjuru, menghasutku untuk berkali-kali menengok ke belakang dan berharap tak ada yang mengejar.

Dari balik tabir kegelapan, kulihat seorang bapak tua mengayuh becak. Dengan amat nekat kuhadang becak tersebut dan melompat ke atasnya.

“Pak, tolong, Pak! Tolong bawa aku pergi dari sini secepatnya…!” ratapku sambil terus menangis, membuat bapak tua tersebut langsung menggenjot becak dengan sekuat tenaga tuanya, walau dengan mimik wajah yang menyiratkan kebingungan sekaligus keterkejutan.

***

dengan kefakiran

kita guncang arasy Tuhan

memohon rahmat

lalu sejarah kita kunyah

menjadi kenyataan, yang

seharusnya terjadi

bukan yang sebenarnya ada

 

Bapak tua pengayuh becak itu berulang-ulang mengucap istighfar saat aku selesai menceritakan kisahku. Tentang dijualnya aku ke lokalisasi pelacuran oleh seseorang yang berpura-pura mengadopsiku dari panti asuhan, langsung setelah menjemputku dari panti. Tentang -entah bagaimana caranya- aku berhasil lolos dari tindak percobaan perkosaan itu, hingga akhirnya bertemu dengan beliau.

Diusapnya kepalaku dengan wajah prihatin. Matanya menerawang memandang becak yang terparkir dekat pintu.

“Jika kamu mau, Ndhuk, kamu bisa tinggal bersama Bapak. Tapi beginilah tempat tinggal Bapak, Ndhuk, hanya gubuk liar di pinggir kali,” tawar bapak tua pengayuh becak -yang belakangan kuketahui bernama Pak Min- kepadaku, yang tak kujawab selain memeluknya sambil terus sesenggukan.

Esoknya, badai yang menerpa semalam telah banyak reda, menyisakan hangat mentari yang menyembul malu-malu di ufuk Timur. Dan sinar mentari itu terasa kian hangat saat Pak Min mengatakan akan langsung mendaftarkanku di SD sekitar.

“Ga apa-apa kamu dapat kelas siang ya, Ndhuk, karena kelas pagi tak ada bangku kosong,” terang Pak Min, membuat mataku agak buram sebab beliau yang bukan siapa-siapaku ini, begitu mmperhatikanku layaknya cucu beliau sendiri.

Terbiasa kehidupan yang mandiri di panti asuhan, aku tak betah berpangku tangan. Pagi itu juga kucari lapak penjual koran yang agak besar, dan memohon untuk bisa membantu menjajakan koran secara berkeliling. Sementara sore harinya sepulang sepulang sekolah, aku kembali mengorek-ngorek rejeki di pasar sebagai pembawa barang belanjaan.

Atas nasehat Pak Min, setiap kali aku berangkat ke pasar, kulumuri tubuh dengan lumpur kali, agar tubuhku terlihat dekil dan berbau agak menyengat. Semua itu kulakuan semata demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari preman yang biasa mangkal dekat perkampungan kumuh kami.

Sayang kebersamaanku dengan Pak Min hanya sejenak. Penyakit asma yang diderita Pak Min mengantarkannya ke pintu kubur. Tidak ada yang membantu pengobatan, hanya mengkonsumsi obat warung yang kubeli setiap hari. Hingga malam maut itu, asma Pak Min kambuh sangat parah.

Sambil menangis kubawa Pak Min ke RS Swasta yang ada di Wonokromo. Namun malang, pihak rumah sakit menolak karena kami miskin dan tidak memiliki biaya administrasi yang harus dibayar di muka.

Pak Min meninggal di pangkuanku, membuat bumi terasa mendadak amat pekat, menyisakan nanar di mataku, tentang bagaimana mesti kujalani hidup selanjutnya?

***

tak ada gading yang tak bercela

bukan alasan tuk legalkan

senyum sang jendral

atau

melanggengkan kultus abadi

saatnya kebohongan

munafik dan kehinaan

menyingkir, menguap bersama debu

tinggal kami: tunas-tunas kehidupan

yang akan terus tumbuh, mengembang

menorehkan jejak bersemarak harum pelangi

bagi kehidupan

bagi tanah pertiwi

bagi negeri yang tak pernah boleh mati

 

Setelah berpulangnya Pak Min, aku kembali sebatang kara. Tapi aku sudah bertekad, sesulit apapun hidupku, aku akan tetap bersekolah.

Kujalani rutinitas keseharianku dengan penuh ketabahan. Walau hidup sebatang kara membuatku agak sering melamun.

Lamunanku buyar ketika seorang nyonya tionghoa berusia paruh baya melambai ke arahku. Sigap kuhampiri nyonya tersebut.

“Tolong belanjaan ini bawa ke mobil ya, Ndhuk” perintah nyonya tionghoa tersebut dengan wajah ramah, sambil tangannya menunjuk ke mobil yang dimaksud.

Aku mengangguk seraya bergegas melaksanakan tugas. Dan nyonya setengah baya itu kembali tersenyum saat melihatku teperangah menerima upah yang… alangkah besarnya! Dengan langkah penuh syukur aku pulang ke rumah.

Tapi tak setiap hari pencarian nafkahku membuahkan hasil. Seperti sore ini, ketika tak ada seorangpun yang menggunakan jasaku, membuatku terkenang akan kebaikan nyonya tionghoa setengah baya kemarin.

Dengan penuh harap, kutunggu nyonya baik hati itu di pasar. Tapi sepertinya beliau tak setiap hari berbelanja. Dan hingga petang menjelang, tetap tak satupun yang memakai jasaku.

Dengan langkai lemah kaki-kaki kecilku berjalan, menuju gubuk kediaman almarhum Pak Min yang terbuat dari kardus, yang didirikan pada sepetak tanah kosong di pinggir kali Surabaya. Perutku mulai berdemo karena sejak pagi belum kuisi. Hanya air keran dari WC umum pasar yang bisa kujadikan pengganjal lapar gratisan, walau tentu saja tak benar-benar mampu mengganjal.

Dua kelok lagi sebelum aku sampai ke gubuk, pandanganku menumbuk sesuatu yang menggoda mata dan perutku: Rumah Makan Padang.

Dengan agak ragu, kualihkan langkah menuju kesana. Aku tahu resiko yang akan kualami jika mendekat ke sana, diusir. Tapi nyeri di perut menuntut agar aku tetap ke sana.

Nekat kudekati Rumah Makan Padang tersebut melalui pintu belakang, dan menawarkan diri untuk membantu mengerjakan apapun yang bisa kulakukan.

Baru saja kalimatku usai terucap, ketika salah satu karyawan wanita bertubuh bongsor hendak mengusirku. Tapi untunglah dicegah oleh karyawan yang satunya lagi.

“Biarkan anak itu membantu cuci piring,” ucap temannya, membuat karyawan bertubuh agak bongsor tersebut melengos dan pergi ke ruang depan.

Dengan penuh semangat, kucuci bersih semua perabot kotor yang ada. Tapi sebelumnya kucari kantung kresek untuk menadah sisa makanan yang ada di piring-piring bekas makan pengunjung, hingga setelah selesai urusan cuci mencuci, aku berpamitan pulang dengan menenteng satu plastik penuh makanan sisa.

Kali ini langkahku amat ringan menuju rumah. Dan sambil bersenandung riang, tak henti-hentinya kuendus lezat aroma makanan yang menguar dari kresek hitam yang kutenteng tersebut.

Baru saja kakiku hendak melangkah ke dalam gubuk, ketika Mbok Darmi penghuni gubuk sebelah menyapaku. Dari wajahnya aku bisa menebak, bahwa Mbok Darmi juga memiliki masalah yang sama denganku. Menahan lapar.

“Kamu malam sekali baru pulang, Ti,” sapa Mbok Darmi.

“Ya, Mbok. Tadi aku bantu-bantu cuci piring dulu di restoran padang,” sahutku. “Eh, Mbok, aku punya kabar baik, nih, karena malam ini kita akan pesta seperti orang-orang kaya di restoran tikungan itu loh, Mbok,” lanjutku riang.

Mbok Darmi terkekeh geli mendengar ucapanku. Sambil menggeleng beliau berkata, “Tiii… Ti… Kamu ini mbok ya jo ngimpi pesta segala, lha wong makan sehari-hari saja kadang ada kadang tidak.”

“Aku tidak mimpi, Mbok. Nih kalo Mbok Darmi ga percaya. Mmmh… ayang goyeennng… Mmmh… sambel ijo, Mbok…” kuangsurkan kresek hitam tentenganku kepada Mbok Darmi, membuat Mbok Darmi penasaran dan turut mengendus-endus kresek hitam tersebut.

“Ayo kita makan bareng, Mbok. Bangunkan juga Tono dan Tini cucu Mbok itu. Pokoknya malam ini kita makan menu restoran, haha…”

Mbok Darmi kembali terkekeh-kekeh. Kali ini kekehnya amat sumringah hingga gerahamnya yang kini tak lagi memiliki gigi itu terlihat jelas.

Malam ini kami makan bersama. Dan seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan nikmatnya makan ayam goreng lengkap dengan sajian yang lainnya.

Kami makan dengan amat lahap. Walaupun yang kami makan adalah makanan sisa, namun bagi kami tetap merupakan makanan paling nikmat yang pernah ada di dunia.

Dalam kenyang yang sangat kami terlelap, tanpa rasa lapar seperti biasa yang selalu menemani saat menjelang tidur… (Bersambung).

 

lalu kami menguap juga, membumi

dan benih-benih muda segar menyembul

malu, walau tak ragu

menggantikan

bersama senandung pagi hari

terus berulang

(‘Simfoni yang Tak Pernah Usai’ dalam ‘Di Bawah Kibaran Dosa’)

 

Secangkir Kopi Dongeng untuk Jokowi, ThornVille-Kompasiana, 29 Desember 2015.

*Tulisan ini merupakan novel yang mengacu kepada pendapat pribadi penulis, dengan tidak bermaksud melakukan ujaran kebencian dan atau mendiskreditkan Negara, Presiden, seseorang atau sekelompok pihak tertentu.

Link episode sebelumnya:

Dongeng untuk Jokowi #3: Ini Bukan Hanya Tentang Papua, Pak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun