Dan setelahnya, tentu pula memerlukan waktu hingga sore lagi untuk mereka tiba di rumah, untuk kemudian kembali berjibaku dengan segala macam rutinitas sebagai ibu.
Tak heran Gofar kecil menjadi nakal. Tak aneh Rinto remaja menjadi berandal. Tak janggal Siti muda menjadi binal. Sebab mereka lahir dan membesar tanpa asuhan ibunya, yang sibuk mengait-ngait rambut sintetis menjadi idep (bulu mata palsu) pabrikan setempat, yang kabarnya milik putra daerah asli namun setelah dicermati hanya kaki tangan pabrikan Negara Anu. Bahkan rumah tinggal merekapun di Green Garden Jakarta sana: Datang ke Purbalingga, hanya ketika tiba saat mengambil laba ‘perusahaan’.
“Angger njiyot idep nang Rika kenang rega pira, Kang?” tanyaku pada salah satu pengepul idep yang tengah mengambil setoran pekerjaan para ibu tersebut.
“Sing seri X kenang kosi patangatus, Mas, nanging madan angel garapane. Beda karo sing seri Y kiye. Kejaba mung telungatus bisa rampung patang puluh ngasi sewidakan sedinane. Tapi ya kuwi, digarap nganti jem sepuluh wengi,” kecap si pengepul dengan bahasa ngapaknya, yang langsung membuat keningku berkerut.
Siapa bilang perbudakan telah dihapuskan? Terutama bila mengingat harga sepasang idep di Negara Anu sana, harga minimalnya bisa mencapai seribu kali lipat dari upah lini terbawah! Membuatku berpikir tak perlukah pemerintah membuat semacam holding company yang membawahi semua perusahaan tersebut? Atau setidaknya, membuat regulasi dan kebijakan yang sedikit saja lebih berpihak kepada masyarakat?
Kembali kureguk cangkir kopi yang ketiga dengan amat masygul. Entah apa yang salah dengan negeri ini. Atau benarkah kita semua memang telah terlalu bodoh hingga tak lagi mampu, walau untuk sekedar memaksimalkan potensi yang tersedia dengan begitu rayanya di sekitar kita? Tersedia dengan amat riuhnya dalam negeri, yang memang sejak dulu kita buai lewat segala macam nyanyi surgawi? Tentang negeri dimana tongkat dan kayu bahkan menjelma tanaman meski kita lempar secara asal sambil bersandar saking suburnya. Begitu juga dengan kekayaan lautnya. Atau migasnya. Udaranya. Dan sebagainya yang semakin membuatku habis daya logis buah kenyataan yang terasa amat mensterilkan semangat ini.
“Jika ada yang berminat untuk melumat masyarakat dengan cara yang amat cepat, pisahkan para ibu dari anak-anak mereka, niscaya tak akan butuh waktu lama untuk generasi penerus menjelma serigala, bagi sesama mereka…”
***