Kemiskinan tak melulu mengacu kepada uang dan daya beli, Bay…
Tanpa hutan, mereka tak lagi mudah mencari kayu bakar, dan dipaksa untuk menggantinya dengan minyak tanah atau gas. Tanpa pepohonan sagu, mereka yang semula tinggal menebang dan mengolah, dipaksa untuk mencari alternatif lain pengganjal perut, yang kesemua itu melahirkan kebutuhan baru akan benda bernama: Uang.”
Dan demi kebutuhan akan uang pulalah lapangan pekerjaan wajib diciptakan, yang setelahnya segala yang tumbuh di hutan kemudian menghilang, berganti dengan tunas-tunas sawit serta pertambangan, menyeret mereka ke dalam lingkaran kebobrokan sistem ekonomi yang kita anut. Memaksa mereka yang tadinya "tinggal makan dan tidur", harus menempuh jalan yang jauh lebih berputar, hanya agar bisa makan dan tidur yang tadinya amat mudah mereka lakukan, hanya demi bisa ‘sesuai’ dengan gaya serta standar yang kita punya.
Benarkah kemiskinan serupa dengan gaya hidup, Bay, yang mesti diuji hanya melalui daya beli sebagai satu-satunya tolok ukur?
Sebelum adanya niat baik dari Presiden, mereka telah memiliki segalanya, Bay. Pasokan kayu bakar berlimpah, sagu tanpa batas, daging hewan liar hutan yang tak tersentuh mafia harga, juga rawa yang dipenuhi cadangan ikan nan amat berlebih!
Sementara kita mesti berpayah-payah menghabiskan hari, hanya demi sepiring nasi serta seketip mimpi…
Kuhembus napas kuat-kuat. Secangkir kopi telah lagi kureguk hingga kering. Namun alih-alih beroleh ilham, ingatan yang lain justru kembali hadir, menyulap benakku hingga menjadi layar pemutar adegan-adegan.
Dalam sebuah fragmen yang agak buram nun di Jawa Tengah sana, kulihat deretan perempuan muda, tengah baya juga renta berbondong-bondong melewati liuk jalan mendaki dan menurun -sambil menenteng obor sederhana- menuju tempat bekerja sebagai buruh pemetik bunga melati.
Dan kegiatan itu rutin mereka lakukan setiap hari, sejak pukul empat dini hari hingga menjelang jam dua siang, hanya demi rupiah sebesar lima sampai delapan ribu rupiah… per hari!