Siapa Bay? Mengapa bulir air mataku rela menggelinding jatuh demi dia? Kau tahu, sejak bertahun lalu, air mata ini kupastikan telah mengering. Tak kubiarkan satu tetes pun tersisa. Tapi mengapa untuk seorang Bay, aku kalah?
Aku berdiri menahan tangis di tengah rumput ilalang setinggi pinggang. Berharap Bay kembali dan memarahiku.... (‘Jangan pergi, Bay’ –Karya kompasianer Lilik Fatimah Azzahra)
***
Malam ini aku kembali menghitung hujan, membilang entah berapa sajak yang terserak di sisa jejak kenangannya.
“Kau tahu apa yang paling kuyup dari hujan, Ra?” Bay bertanya tiba-tiba, membuatku merasa déjà vu dari puisi buatannya yang kubaca waktu itu.
“Kenangannya?,” jawabku dengan agak ragu.
Bay menggeleng, sebelum kembali menghilang perlahan ditelan hujan.
Tak ingin terjerembab ke sesal yang sama, kukuntit butir hujan yang paling kilau, berharap dengan cara itu dapat menuntunku menuju Bay.
“Mampukah kau mengikutiku?” butir kilau bertanya, yang hanya kujawab dengan turut bersamanya merebah di tanah, mengayun di daun atau sekedar menggertap sekejap di tratap atap, hingga akhirnya aku berhasil menyelinap di sela begitu banyak isi benak yang tak henti memercik.
Dan itu amatlah mengherankan. Memberiku sadar bahwa ternyata telah sejauh ini aku pergi.
Dan waktu yang mengerut memberiku lima belas tahun ketabahan. Saat cinta yang kerdil, coba merenggut keagungan dogma: Hanya demi menyalur hasrat purba bertopeng agama.