***
“Tak disangka semua kejadian dunia ini selalu berhubungan dengan emas,” keluh Kaki Sukma kepada Telinga Sukma yang mengiringi perjalanannya. “Baik itu emas hitam maupun emas kuning.”
“Benar, Ki. It’s all about the money, dam… dam… dararam…dam…” timpal Telinga Sukma mengulang refrain senandung Meja. “Bahkan fikber horor inipun tak lebih dari sekedar pertikaian uang.”
Kaki Sukma melenguh sedih. Teringat nasib badan Sukma yang kini hancur lebur tanpa pernah bisa ditemukan siapapun lagi.
“Tapi sepertinya Tangan Kiri Sukma percuma membuat reportasi warga, Ki, karena bisa saja para petinggi dan pemangku kepentingan bertingkah konyol seperti si Said Gigu, dan menganggap fikber ini juga cuma karangan kosong belaka.” lanjut Telinga Sukma.
“Makanya tugas kita harus cepat dilaksanakan, Tel. Agar tak ada lagi orang-orang picik yang menyangka bahwa dunia tak lebih lebar dari upil mereka. Agar mereka paham apa fungsi utama lidah, selain untuk menjilat pantat para petinggi.” gereget Kaki Sukma.
“Memangnya apa sih tugas kita, Ki?”
“Menendang pantat Si Said Gigu! Dan kita akan terus menendang pantatnya sampai songgeng, hingga dia mengecek terlebih dahulu setiap analisa yang dibuat oleh seluruh rekan Kompasianers juga Fiksianers. Agar pantatnya paham apa perbedaan antara mengarang dengan menganalisa, serta menyelipkan pesan tersirat sebagai amanat!”
“Ooh… Eh, tapi, kenapa pantatnya yang harus paham? Kenapa bukan justru otaknya?”
Bukannya menjawab, Kaki Sukma justru beretorika setengah memfilsuf.