Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Fikber 2] Jeritan Sukma

1 Desember 2015   21:00 Diperbarui: 1 Desember 2015   21:27 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbok Minah meronta-ronta. Napasnya terasa amat sesak, sebelum akhirnya jatuh pingsan.

Bersamaan dengan rubuhnya Mbok Minah, bergulung-gulung rambut menyerbu tubuhnya dengan amat ganas. Menusuk nyaris setiap pori yang ada hingga membuatnya tersadar dari pingsan dan menggelinjang kesana-kemari.

Walaupun berniat membalas dendam, tak urung Sukma menjerit ngeri melihat pemandangan di hadapannya.

Tubuh Mbok Minah mengeluarkan letupan-letupan kecil, sebelum akhirnya meleleh menjadi gumpalan lendir yang menguarkan bau busuk yang amat keras.

“Apakah semuanya telah selesai, Bu?” Sukma menoleh ke arah ibunya.

Ibunya menggeleng, membuat Sukma binggung sebab masih adakah selain Mbok Minah yang berniat jahat kepada dirinya?

“Coba perhatikan lagi, Ndhuk,”

Sukma berpaling kembali ke arah Mbok Minah. Atau lebih tepatnya: Sisa-sisa Mbok Minah. Namun ia menjadi amat terperanjat ketika –tahu-tahu- gumpalan lender itu bergerak-gerak.

Pluk!

Dari gumpalan lendir tersebut meloncat sebuah jari telunjuk, yang disusul dengan jejari lainnya, yang kemudian berjingkat-jingkat berbarengan menuju dirinya, membuat Sukma mundur ke arah sang ibu.

“Ba-bagaimana ini, Bu? Apa yang harus saya lakukan?”

Tapi ibunya hanya menggeleng, membuat Sukma bertambah bingung.

“A-apa yang harus aku lakukan, Bu?” kembali Sukma bertanya, dan kembali ibunya menggeleng. Bahkan kali ini dia melihat mulut ibunya agak menyeringai. Sementara jari-jemari semakin berjingkat mendekatinya, meninggalkan jalur lendir bercampur darah di atas lantai.

Belum lagi Sukma bertanya ulang, ketika ibunya berkata dengan nada yang amat dingin.

“Kami telah satu alam kini, Ndhuk, hihihihiii…”

Tawa sang ibu membuat Sukma terkesiap. Tanpa sadar tubuhnya mundur, yang justru mendekati jejari iblis yang mengincarnya.

“Tapi, Bu, aku adalah anakmu…”

Sang ibu tertawa melengking.

“Di dunia kami, Ndhuk, tak ada yang namanya anak dan ibu, karena yang ada hanyalah darah dan darah dan darah…”

Wuttt…!

Kaki Sukma terbelit rambut, membuatnya tak bisa bergerak. Dicobanya untuk melompat menjauhi sang ibu. Namun hanya dengan sekali sentakan tubuhnya terlempar ke atas ranjang, berbarengan dengan jejari iblis yang mencekik lehernya dengan amat kuat.

Sekuat tenaga Sukma mencoba melawan, namun tangannya kesulitan untuk menahan cekikan jejari iblis Mbok Minah karena tak ada pergelangan yang dapat ia tarik. Sementara itu ibunya mulai mendekat sambil memainkan ujung lidahnya yang bercabang dua, membuat Sukma mencapai puncak ketakutannya yang paling tinggi.

Plak! Plak!

Dua tamparan keras melanda pipi Sukma, memberi panas sekaligus pedas tak terkira pada kulit wajahnya. Dan ketika tamparan yang ketiga kembali mendarat, Sukma mulai menyadari keadaan sekelilingnya.

“Eling, Ndhuk! Eliiing…!”

Agak syok juga Sukma melihat siapa yang menampar dan mengguncang tubuhnya.

“Ayah…? Ayah belum mati?”

“Eling, Ndhuuuk…! Nyebut…!” kembali sosok paruh baya itu mengguncang tubuh Sukma, membuat Sukma semakin yakin bahwa ini semua bukanlah halusinasi.

Tangis Sukma pecah di dada ayahnya.

“Ayah menyesal memaksamu menjadi penulis, Ndhuk, ayah menyesal!”

Dari balik bahu ayahnya, Sukma melihat pintu kamar yang seperti bekas didobrak.

“Andai ayah tak mencekokimu dengan kisah-kisah seram laknat itu, tentu keluarga kita tak akan menjadi seperti ini. Dan ibumu tak akan masuk rumah sakit hingga berbulan-bulan lamanya.”

Deg. Ibu masih hidup?

“Maksud ayah, ibu masih hidup?” tanpa sadar Sukma bertanya, membuat ayahnya menatap tajam ke arah Sukma.

“Apa maksud pertanyaanmu, Ndhuk? Tentu saja ibumu masih hidup!”

Hampir saja Sukma berteriak karena terlalu gembiranya, sebelum ucapan ayah selanjutnya kembali membuatnya tersentak.

“Karena yang telah mati adalah ayah!” ucap sang ayah dengan bibir mengendur ke bawah dan berjuntai, yang lalu dengan kecepatan kilat membuka mulutnya yang kini sebesar nampan, langsung melahap kepala Sukma, membuat Sukma menjerit sekuatnya sambil menahan wajah sang ayah.

Akhirnya Sukma berhasil menghindar, bersamaan dengan masuknya dua orang berseragam perawat, yang kembali membuat Sukma menjerit.

“Cepat tahan Pak Danang, agar dia tak lagi memakan dan mencabik-cabik bantal guling!” perintah perawat yang satu sambil melompat-lompat ke depan karena hanya memiliki tubuh separuh dari atas hingga bawah, seperti sesosok tubuh yang dibelah secara simetris. Sementara perawat yang diperintah berlari cepat dengan kakinya. Tapi benar-benar hanya kedua kakinya, karena anggota tubuh sebatas pinggul tak lagi ada. Kepalanya menyantel di paha sebelah kiri, dengan kedua tangan yang tumbuh di bagian dengkul.

Dan ketika Sukma menoleh, dilihatnya sang ayah kembali normal. Hanya saja tengah seru menggigit guling yang berada di posisinya sebelumnya sambil berteriak-teriak entah apa.

Dengan perasaan bingung Sukma memandang sekeliling. Dilihatnya perawat setengah tubuh kepayahan meringkus sang ayah, sementara perawat yang hanya kaki sebatas pinggul tersebut menyuntik lengan sang ayah.

‘Kasihan Pak Danang. Semenjak anak gadisnya bunuh diri di kamar ini, dia menjadi gila,’ ucap si perawat setengah tubuh sambil mengusap darah yang meleleh dari bagian tubuhnya yang terbuka.

“Kau yakin bunuh diri? Karena hasil visum justru mengatakan bahwa anak gadis tersebut mengalami tauma benda tumpul pada beberapa bagian tubuhnya.” Sahut perawat yang satunya sambil merapikan serpihan dagingnya yang terburai di bagian pinggul ke atas.

Mendadak perawat yang terakhir bicara menghentikan ucapannya.

“Kau dengar sesuatu?” tanyanya agak was-was. “Seperti ada yang menjerit.”

“Jangan-jangan… rumah ini ada hantunya?”

 

Thornville-Kompasiana, 01 Desember 2015.

Untuk membaca episode peserta fikber sebelumnya, silahkan menuju link yang ini.

 

Postingan saya sebelumnya:

Ending fikber gelombang 1 (tema bebas): Ad Infinitum: Belajar Mati Mengenaskan Ala Bung Karno

Ending fikber gelombang 3 (tema komedi): Manunggaling Kawulo lan Fiksi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun