Plak! Plak!
Dua tamparan keras melanda pipi Sukma, memberi panas sekaligus pedas tak terkira pada kulit wajahnya. Dan ketika tamparan yang ketiga kembali mendarat, Sukma mulai menyadari keadaan sekelilingnya.
“Eling, Ndhuk! Eliiing…!”
Agak syok juga Sukma melihat siapa yang menampar dan mengguncang tubuhnya.
“Ayah…? Ayah belum mati?”
“Eling, Ndhuuuk…! Nyebut…!” kembali sosok paruh baya itu mengguncang tubuh Sukma, membuat Sukma semakin yakin bahwa ini semua bukanlah halusinasi.
Tangis Sukma pecah di dada ayahnya.
“Ayah menyesal memaksamu menjadi penulis, Ndhuk, ayah menyesal!”
Dari balik bahu ayahnya, Sukma melihat pintu kamar yang seperti bekas didobrak.
“Andai ayah tak mencekokimu dengan kisah-kisah seram laknat itu, tentu keluarga kita tak akan menjadi seperti ini. Dan ibumu tak akan masuk rumah sakit hingga berbulan-bulan lamanya.”
Deg. Ibu masih hidup?