Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Menyingkap Pesan Terselubung dalam Event Fiksi Fabel di Kompasiana

6 November 2015   14:42 Diperbarui: 6 November 2015   20:45 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, dalam fabel Indonesia Kancil banyak dipergunakan sebagai simbol, karena binatang ini dipandang cerdik serta pahlawan pembela/penolong binatang-binatang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sesuatu yang amat berbeda dengan asalnya mengingat dalam kisah ‘Kancil Mencuri Mentimun’, sang Kancil justru berperan sebagai tokoh antagonis penumbal hewan lain asalkan dirinya sendiri selamat…^_

Barangkali hal inilah salah satu sebab timbulnya polemik bahwa ‘Sebenarnya Kancil Itu hewan baik atau justru teladan buruk bagi anak-anak…? ^_

Setelah era Hindu-Budha, agama Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII, bersamaan dengan turut masuknya tulisan Arab (Kristantohadi, 2010). Dan kembali watak bengal sejarah sebagai pengulang kejadian mencuat.

Kembali fabel direduplikasi ulang, ditulis menggunakan Bahasa Arab dan menjadi bentuk hikayat, dengan tujuan untuk menyebarluaskan agama Islam di kalangan pribumi.

Salah satu contoh yang cukup terkenal yaitu Hikayat Khalilah dan Daninah, yang merupakan hikayat terjemahan dari Bahasa Arab, yang sebelumnya adalah terjemahan dari Bahasa Persia, yang sebelumnya lagi merupakan terjemahan dari Bahasa Sansakerta. Wuihhh! ^_

Nama asli karya tersebut adalah Karna dan Damantaka (Sugiarto, 2009, h.18), kumpulan fabel karya Baidaba, filsuf yang hidup pada abad ke-3 masehi.

Apakah kemudian fabel Indonesia akan berakhir hanya sebagai pelengkap didaktis bagi dunia kanak-kanak? Atau justru akan mundur kembali ke masa penjajahan Jepang sebagai simbol perlawanan jurnalisme yang dilakukan pegiat fiksi terhadap ketatnya sensor media penjajah waktu itu? Seperti fabel buatan  Martin Luther (1483 – 1546) yang lebih mengangkat tentang kritik atas kaum yang berkuasa? Memposisikan sebagai bentuk jurnalisme alternatif menyiasati SE Ujaran Kebencian Kapolri yang, walaupun diduga tak memiliki dasar hukum namun memiliki potensi yang besar akan penyalahgunaan aparat,  dengan memanfaatkan aturan tersebut untuk melakukan kriminalisasi terhadap pihak-pihak tertentu, misalnya…^_

Atau justru akan mengacu kepada fabel nyastranya Michael de La Fontaine dari Perancis, juga Penyair Sufi Fariduddin Attar dari Persia dengan puisi liris “Musyawarah Burung”nya yang amat terkenal itu? (yang membuat saya berkali-kali ganti buku tapi tetap saja tak tamat-tamat karena muatan sufistiknya yang agak berat bagi daya nalar saya, haha…^_)

Atau ‘sekedar’ mengikuti jejak Joko Said alias Sunan Kalijaga, yang langsung menggarap ke Mahabharata sebagai ranah sentral dengan memasukkan tokoh punakawan karangan beliau yang awalnya sebagai salah satu alat menyebarkan ajaran moral keagamaan pasca Hindu-Budha? Atau kisah Ajisaka yang turut mendunia bersama Mahabharata, yang diakui sebagai karya asli Bangsa Indonesia?

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun