Segala cerlang yang menyeruak di wajah Rani sirap, berganti dengan siluet kabut yang perlahan menyaput keseluruhan wajahnya.
Agak cemas juga Ari melihat perubahan di wajah cantik itu yang cukup ekstrim. Apakah ia telah salah berbicara? Terlalu kasar? Atau…?
Tapi salahkah jika sekali-kali kita menafsirkan semuanya sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang diberikan oleh-Nya? Dan bukannya sekedar memaknainya sebagai kewajiban yang lantas terasa memberatkan keinginan?
“Kamu tidak apa-apa, Ran?” Ari bertanya dengan hati-hati.
Tapi anehnya Rani tak menjawab. Hanya mata yang tadinya hidup kini tak ubahnya bendungan siap jebol, memberitahu Ari jawab seperti apa yang diperolehnya, yang sayangnya justru semakin membingungkannya.
“Ran… Kamu…”
Belum sempat Ari menyelesaikan pertanyaannya, ketika telaga di mata Ran luruh, meluncurkan segenap perasaan yang sejak tadi terperangkap di kerlipnya.
Ran menangis dengan amat mengguguk, membuat Ari terjebak dalam bingung yang panik akan ending percakapan yang tak terprediksi ini.
Dalam diam kembali Ari merasa masygul. Ia merasa seperti ditakdirkan untuk menjadi sosok yang tak akan pernah bisa untuk memahami wanita… walau hanya untuk satu kali dalam seumur hidup.
***********
Secangkir Kopi Kisah Berlatar Etnik, Thornvillage-Kompasiana, 18 Oktober 015.