Tahukah kau betapa banyak komunitas Muhammadiyah yang justru jauh lebih NU, bahkan jika dibandingkan dengan NU itu sendiri?
Terlalu sering saya temui merekalah yang justru menjadi pemimpin dalam ritual keagamaan pasca kematian, atau syukuran pra kelahiran, yang jelas-jelas dalam kamus mereka termasuk dalam kategori: Bid’ah.
Atau berapa banyak sosok yang mengaku sebagai bagian dari kaum Nahdhiyin, yang dengan berapi-api mengatakan bahwa segala ibadah yang umum dijalani orang-orang sekarang ini hanyalah sekedar ‘kulit’ tanpa ‘isi’. Hanya saja kesehariannya yang cuma bercelana pendek dan bertelanjang dada, memaksa untuk menduga bahwa dia tentu lupa batas aurat lelaki antara pusat hingga lutut, yang seketika mengundang saya untuk tersenyum dan memaklumi ‘isi-kulit’ apa yang dia maksud.
Beberapa kali saya memperoleh kalimat-kalimat pedas dari bocah gagah pengikut manhaj tertentu, yang bahkan tak pernah dilakukan oleh Musa AS terhadap Fir’aun sekalipun! Yang saya balas hanya dengan kata-kata yang penuh senyuman, karena tahu bahwa sefasik apapun saya, semoga tidak menjadi seterlaknat Fir’aun yang menganggap diri sebagai tuhan. Sementara bocah gagah itu jelas belumlah memiliki prasyarat khusus yang dapat mebuatnya memiliki derajat yang lebih tinggi dari Musa AS.
Besar dugaan saya dia tak paham apa itu fikrah, mazhab atau bahkan terjemahan sederhana dari kata-kata manhaj ke dalam bahasa indonesia. Tentu dia tak banyak tahu pendalaman tentang ‘Kesatuan dalam Keragaman’ yang akhir-akhir ini mencuat kembali dalam peta interaksi global, atau bahasan mengesankan akan ‘Islam tidak Bermazhab’ yang sangat mencerahkan itu.
Lantas bagaimana mungkin orang yang tidak tahu arti manhaj itu sendiri, berani mengaku bahwa hanya manhajnyalah yang paling benar dari 73 golongan yang pernah ditafsirkan...?!!! Alangkah mudahnya neraka dihindari, jika surga memang bisa diraih cukup dengan ibadah dan amal kebaikan saja...
“Oknum, Bay... Oknum...” Kembali kata-kata favorit terbaik itu muncul dan secara gaib menjelma kambing hitam bagi semua anomali yang terjadi, menjadikan saya diterjang mual yang sangat layaknya perempuan ngidam yang tak berhenti memuntahkan segala kekotoran zamannya.
Memang ada saja saya dengar orang-orang khusus yang begitu arif dalam menjalani hidup, seakan dirinya tak lebih dari seketip cahaya yang terus melahirkan kuntum demi kuntum keindahan. Namun jauh lebih banyak lagi figur yang, bahkan ketika berada dalam kondisi terpintarpun, masih saja gagap walau sekedar untuk menjadi benar.
Dan sayangnya, figur yang banyak itu terus saja terpantul dari tiruan identik yang menatap tepat ke dalam mata saya saat tengah bercermin. Karena figur-figur itu sering kali adalah saya sendiri, yang dengan (katanya) begitu banyak pahala mengalir dari alif-ba-ta yang pernah tanpa putus saya ajarkan kepada entah berapa siswa, namun serasa tak mampu walau sekedar untuk mengimbangi ramainya dosa yang pernah saya rupa dan percikan.
Saya pernah sangat putih, namun saya juga pernah begitu hitam. Seringkali saya tak sadar betapa cemang-cemongnya wajah saya kini, yang berjalan dari hari yang satu ke hari yang lainnya dengan sangat terseok dan tertatih. Kadang merintih. Tak jarang cuma bisa menangis lirih menyembunyikan perih dalam hati yang entah masih hidup atau telah mati. Beberapa kali sudah saya merasa sangat kehilangan. Namun bagaimana mungkin saya bisa kehilangan, sementara saya tak pernah benar-benar memiliki...?!
Akhir yang buruk, semoga bukan itu halaman terakhir hidup saya. Saya masih merasa yakin bahwa hidup saya baik-baik saja, dan tentu saja akan berakhir dengan bahagia! Dan jika cerita ini terlihat begitu suram, yakinlah bahwa kisahnya belum berakhir. Bukankah fajar lazimnya terlahir, justru setelah malam mencapai titik terpekatnya...?!