“Kau terlalu banyak menonton fiksi politik dan film kungfu murahan, Day.” Ucap Paman Bay seraya melanjutkan kembali kisah nyata yang kerap tersaji amat mistik itu.
Akhirnya wali kesembilanlah yang berhasil menyelesaikannya. Setelah bertafakur sejenak, dengan tangan kanannya Sunan Kalijaga menjangkau Ka’bah di Mekah, dan tangan kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditariklah keduanya hingga akhirnya bertemu, sewujud, bertaut:
"Payok Kakbah lawan sirah gada masjid
Dèn-nyataken sawujud
Cèples kenceng datan mènggok"
Maka Islam yang “universal” (Ka’bah) bertaut dengan Islam yang “partikular” (Masjid Demak).
Yang satu tak menghilangkan yang lain, tentu saja selamanya ada latar sejarah setempat dalam tafsir.
Tapi ortodoksi mencoba menampik unsur sejarah setempat itu, yang gerakan awalnya bermula setelah Nabi tak ada lagi.
Dalam memperebutkan pengganti Nabi, tiap kubu menghadapi persoalan yang sama, yaitu bagaimana Nabi terasa hadir secara asli? Dan untuk mendapatkan yang dirasa “asli” itulah kemudian agama dibersihkan dari jejak sejarah dan lokalitas. Yang dekat dihilangkan, yang jauh jadi idaman, sebagai sesuatu yang tegar dan wajib tunggal.
“Dari sanalah semua bermula, Day, hingga puncaknya pada pemilu presiden yang lalu, yang membuat begitu banyak elemen bangsa ini terpecah-belah.”
“Tak dapatkah semuanya diubah seperti masa sebelumnya, Paman?”
“Agak sulit, Day, karena ketika agama telah menjadi 'tujuan' dan bukannya sekedar ‘jalan’ menuju Sang Maha Segalanya, saat itulah agama tak lebih bermakna dari sekedar stempel pelegalan hawa nafsu. Agama yang satu menjatuhkan agama yang lain. Bahkan agama yang sama begitu gemar melempar caci menebar maki, menyembunyikan Allah di lapis kepentingan yang entah keberapa, yang sejatinya mesti menjadi yang paling utama dari yang utama.”
"Dari Masjid Demak kita seharusnya banyak belajar, Day. Bahwa alih-alih membuat tiang dari batu, bata, balok maupun bahan masif yang lainnya, Sunan Kalijaga justru membuatnya dari bahan tatal: Sisa kayu yang mengeriting dan terbuang ketika permukaan papan diratakan dengan ketam. Sebagai simbol bahwa Masjid juga Negara, sejatinya didukung oleh mereka yang terbuang, yang remeh serta yang tak bisa disusun sama rata dan sama rasa. Karena Masjid dan Negara tak akan pernah bisa terlahir dari fondasi yang lurus dan tegak dalam kekakuan, juga bukan dengan lembing dan takhta, yang terlahir dari kekerasan dan kekuasaan..."
Agak pusing juga Dayat mencerna semua pembicaraan Paman Bay, hingga akhirnya ia hanya mampu terdiam, dengan begitu banyak ide dan pemahaman tentang nasionalisme yang jauh berbeda dari yang pernah dikenalnya dulu. Nasionalisme yang benar-benar menyatu tanpa perlu memaksa harus bersumber dari hanya satu. Seperti kebenaran, yang memang tak pernah mewujud dalam bentuk yang serupa di tempat dan kejadian yang berbeda...