Meminjam hukum qiyas, saya berlogika bahwa piramid sebagai tempat peristirahatan abadi Raja Fir’aun, tak akan pernah terlahir dari cambuk dan kekerasan. Banyak data yang menyebutkan betapa amat suburnya Mesir kuno waktu itu, yang membawa serta kemakmuran gila-gilaan bagi masyarakat yang tinggal di sana.
Efeknya? Fir’aun sebagai raja langsung didapuk causa prima bagi kemakmuran amat super tersebut, yang perlahan melahirkan kultus nan terus menggelembung hingga puncaknya membuat Fir’aun gatal untuk mendaulat diri sebagai tuhan.
Dan penghormatan terhadap sosok yang dikultuskan seringkali serupa keimanan, dimana rakyat akan habis-habisan memberi apapun yang terbaik bagi kultus mereka, termasuk juga pembuatan piramid, yang kemudian kita baca sebagai kuburan raja yang dikultus tersebut. Jadi logika tentang pembuatan piramid oleh budak yang kaki tangannya dirantai lalu menyeret bahan batu sambil dicambuk jelas merupakan kekeliruan yang amat fatal.
Jika masih ragu, sila tanya sendiri kepada bangsa Jepang yang menganggap kaisar mereka keturunan dewa, atau Rusia dengan Tsarnya, atau tak perlu jauh-jauh, cek langsung bagaimana ketulusan abdi dalem Kesultanan Cirebon yang masih bangga mengabdi di keraton, dengan hanya diberi gaji Rp. 15.000,-/bulan, karena kabarnya… mereka hanya mengharap berkah buah abdiannya tersebut…^_
Seperti yang telah diduga sebelumnya, artikel tersebut tak ada yang melirik. Tapi beberapa tahun kemudian arkeolog luar kembali mengeluarkan ‘fatwa’ yang ‘kebetulan memiliki beberapa kesamaan’ dengan artikel sekelas mahasiswa baru itu, menampar kesadaran saya bahwa benarkah tak ada yang hebat jika itu dari Indonesia? Yang walaupun dibuat dan atau ditemukan di Indonesia, harus dioper terlebih dahulu ke luar negeri untuk kemudian kembali ke Indonesia dengan sangat jumawa sebagai produk milik non Indonesia seperti paten kunyit oleh Jepang dan tempe oleh Malaysia?
Daripada banyak sedih, mending langsung nyemplung ke Even Puisi Merdeka RTC, Sob…^_
Pertama membaca infonya, kemerdekaan saya langsung protes. Dengan cara yang baik tentu saja…^_
Protes pertama tentang tema merdeka yang ‘seakan-akan’ dipenjara untuk ‘Merdeka positif berbalur semangat cinta tanah air’ yang langsung saya konsultasikan ke Admin RTC tak peduli saya kenal mereka atau tidak, sebab orang yang hanya berani memprotes kepada sosok yang dikenal atau sosok yang diperkirakan tak membalas saya pikir bukanlah orang yang berjiwa merdeka… *Tiiilll…^_
Tak ada yang salah dari peraturan lomba tersebut. Hanya saja setahu saya, sastrawan bukanlah penjilat munafik yang selalu menggadaikan fakta demi tujuan tertentu, melainkan cuma seseorang yang selalu tampil jujur dan apa adanya merekam zaman, yang diamini pula oleh Kang Pepih Nugraha selaku Ketua Erte Kompasiana dengan mengatakan bahwa fiksi seringkali jauh lebih jujur dari fakta.
Protes saya langsung ditanggapi Admin RTC, dengan membolehkan kritik sosial tentang Indonesia karena itupun, kata Wahyu Sapta selaku perwakilan Admin, adalah salah satu bentuk cinta tanah air pula...^_
Mari kita berburung merak sejenak bersama Rendra, dan mengutil-ngutil tentang benarkah kritik sosial adalah cinta tanah air, yang tentu saja amat berbeda dengan menghina berbalut alasan lamur sebagai mengkritisi…^_