“What a beautiful life, Rei...! I love you... Very-very love you so much! Emmmhh...” sebuah kissing lembut mendarat di bibir Rei, yang dengan sangat jengah dan bahagia Rei terima saja dengan pasrah. ^_
Tapi perkataan-perkataan mereka selanjutnya membuat Rei sedikit melengak.
“But i still confuse about ‘marmut’, Rei... What the meaning about that animal is? Can you tell me now, Dear...? ” ask Earl.
Sementara Dre berteriak keras-keras, “Apel melaah, aciiik...!” dengan logat bulenya yang kental, sambil terlihat memperagakan canda yang berkejar-kejaran dengan seseorang.
“I hate rat...!” desis Earl berbalik sebal setelah Rei menerangkan tentang hewan yang disebut Earl dengan kata-kata yang terdengar lebih mirip ‘mahmud’ atau ’mammoth’ itu, sambil menjelaskan bahwa ia juga pernah membaca ‘Dunia Aneh Si Ben’ yang jilid 1 sebelum ’Love in Dumay’ ini. Juga tentang cerpen-cerpen Rei lainnya yang sering ia jadikan ‘sleep story’ buat Dre. Termasuk cerpen ‘Belenggu Angan’ yang kini tengah diperagakan oleh Dre, yang memang berseting pyur Jakarta.
Ah, barangkali itu gambaran terakhir mereka tentang Jakarta, yang memang tak pernah sedikitpun Rei ceritakan kepada mereka, batin Rei dengan agak tercenung. Bahkan serapat apapun ia tutupi masa lalunya, tetap saja kehidupan memberinya jalan untuk menerobos bebas dan membuntutinya, sejauh dan selama apapun Rei menghindarinya!
Ditatapnya Earl dengan penuh cinta, dan diajaknya cintanya itu ke taman samping rumah dengan rasa cinta yang tak terhingga, untuk bersama menikmati gemerlap bintang yang seperti tengah melakukan rapat raksasa dalam galaksi yang semakin menua ini.
“C’mon, Menthariy...” ajak Earl dengan logat lucunya kepada Dre. Tapi sosok kecil itu justru lebih memilih untuk memeluk dan bergelayut erat di salah satu kaki Rei sambil tertawa-tawa, membuat Rei berjalan amat payah menyeret sebelah kaki yang digemboli bocah itu. Sementara Earl tersenyum-senyum saja di sampingnya sambil mengucap, “like Belenggu Angan” dengan sumringah. Dan semakin bertambah sumringah dengan senyum cerah merekah saat Rei merengkuh pinggangnya dengan mesra.
Bersama mereka menuju taman, dengan amat terseok. Sebab cinta yang menggelayuti mereka bertiga memang terlalu besar untuk walau sekedar dibawa berjalan.
Sekilas Rei seperti melihat sepasang tangan yang sibuk menggerak-gerakan jari seakan tengah memencet tombol ini dan itu... di langit tepat di atas kepala mereka! Tapi cuma sekilas. Seperti kelebatan liar yang tiba-tiba saja menyelusup dan hinggap ke dalam benaknya.
“Apakah kamipun seperti Ben dan Ci, Tuhan, tak lebih dari sekedar tokoh fiksi yang tengah diketik oleh entah siapa nun jauh di langit sana...?”