Dan menjadi lebih menarik lagi ketika saya mengetahui bahwa penulisnya, hanyalah seorang tukang becak.
Bukankah tukang becak adalah stereotif paling umum dari kelompok masyarakat yang miskin nyaris segalanya? Miskin harta, pendidikan, pengalaman, dan terutama sekali: Miskin pengolahan perbendaharaan kata akan rekaman peristiwa apapun yang menimpanya, sepahit atau semanis apapun pengalaman tersebut.
Saya pikir, satu-satunya kekayaan tukang becak adalah kebahagian tanpa batas, yang itupun mereka raih dengan amat payah buah keikhlasan mereka menerima takdir yang serba kekurangan. Tapi, ini…
Dan sebagai tukang korek hikmah yang gemar berdialog dengan diri sendiri di balik bilik benak, langsung saja saya bertanya-jawab solilokui.
Apakah dia adalah seorang tukang becak ajaib berkemampuan tak lazim? Atau justru seorang pengembara jiwa yang tengah menyamar menjadi kawula? Atau seseorang yang cuma beruntung, yang lalu buah keberuntungan karya pertamanya, akan langsung mengantarkannya menuju jalan sukses yang amat singkat? Atau…
Hanya saja, sayangnya internet di era tersebut bahkan belum pernah sekalipun terbayang, hingga saya tak bisa menelusurinya dengan gagah hanya berbekal beberapa kata kunci di mesin pencari.
Akhirnya hanya menunggu, yang tak lama kemudian dugaan tersebut menjadi kenyataan.
Nama tukang becak itu langsung meroket. Dalam pembahasan kolom khusus di sebuah majalah islami remaja yang waktu itu masih amat ecek-ecek serta buruk karya kontributornya, tersibaklah beberapa rahasia si tukang becak, yang anehnya tetap tak mengurangi kemisteriusan dan ketertarikan saya akan sosok dan kegiatan yang dilakukannya.
Tukang becak itu kini tak lagi menjadi seorang penarik becak. Dia adalah Joni Ariadinata, yang namanya kini tercatat sebagai salah satu redaktur di bulletin sastra bergengsi kelas nasional negeri ini: Horison.
Begitu juga dengan majalah remaja islami yang dulu ecek-ecek tersebut, yang kabar terakhirnya memiliki jumlah tiras di atas 13.000 eksemplar untuk setiap penerbitannya. Sebuah jumlah yang cukup menakjubkan terutama jika mengingat bentuk serta kandungan isinya di masa-masa awal, ditambah lagi dengan salah satu pendirinya yang tengah sibuk merilis film ‘Ketika Mas Gagah Pergi’, setelah sebelumnya sukses merubah AWC yang sekedar underbow majalah menjadi sebuah organisasi kepenulisan terstuktur yang banyak melahirkan penulis muda berbakat: Forum Lingkar Pena.
Kembali kepada Joni si mas becak tadi. Sebelum kisah dongengnya menjadi kenyataan, beliau beberapa kali menceritakan tentang suka-dukanya terjun di dunia kepenulisan.