Jika kita mengamati secara lebih seksama, akan tergambar jelas di layar kesenian kita bahwa sebenarnya hasrat berseni telah sangat dibatasi ruang geraknya. Para pelaku seni terbelenggu dengan sangat rapat dan kuat, hingga seringkali karya seni yang mereka hasilkan terasa samar kemurniannya.
Banyak karya sastra Indonesia yang hanya berfungsi sebagai alat politik, sarana penyebaran agama tertentu, atau sebagai bahan ajar untuk bidang moral, hukum dan humaniora. Tapi walaupun demikian, bukan berarti hal itu dapat serta-merta disimpulkan sebagai sebuah cacat ataupun keunggulan, melainkan lebih kepada ‘alarm’ tentang adanya perulangan akan pola-pola tertentu yang baiknya dipahami.
Tentang ajaran agama dalam karya sastra Indonesia sendiri telah sangat lama terjadi, yaitu sejak masa 2000 tahun sebelum masehi, pada periode awal Agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia.
Ketika itu, karya sastra yang mengandung semangat keagamaan diwakili oleh cerita Jataka Avadana untuk agama Budha, sementara kisah Tantri Kamandaka menjadi perwakilan Agama Hindu. Kedua cerita tersebut sangatlah indah serta mengandung gairah spiritual yang amat mendalam. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari keduanya, terlepas dari apakah pembacanya penganut agama tersebut atau bukan.
Kemudian datang Agama Islam ke Indonesia. Melalui proses yang naturalisasi yang cukup panjang, persentuhan antar kebudayaan tersebut banyak melahirkan jalinan peradaban baru yang bernuansa Islami, namun dengan tetap mempertahankan keaslian dari akar kebudayaan yang sebelumnya, walau anehnya hal ini tak berlaku pada kebudayaan Animisme-Dinamisme.
Besar dugaan penulis, selain faktor penyembahan yang bukan kepada Tuhan, menghilangnya peradaban Animisme-Dinamisme dipengaruhi pula oleh amat minimnya karya seni berupa tulisan yang mereka miliki. Itupun jika tidak boleh dibilang tidak ada sama sekali, mengingat karya mereka yang paling mutakhir adalah rangkaian batu besar sejenis Dolmen dan Menhir –juga punden berundaknya, yang kemudian diadaptasi ulang oleh peradaban setelahnya-  atau paling puncak adalah rangkaian gambar aktivitas sehari-hari yang terukir di gua-gua pra sejarah.
Pada periode awal masuknya agama Islam, kita mengenal pewayangan versi Indonesia di mana tokoh-tokoh 'beraroma' Islam dibuat oleh Sunan Kalijaga, melalui karakter punakawan Semar (As Syamir), petruk, gareng dan lain-lain yang nama awal mereka berasal dari kosakata bahasa dan filosofi Arab.
Dalam konteks yang lebih modern, Amir Hamzah melalui puisinya selalu menekankan tentang Elan Ketuhanan, di mana Tuhan adalah segalanya dan alam semesta hanyalah sebuah pelengkap, termasuk manusia didalamnya. Bahwa ketaatan adalah sebuah kemutlakan yang hanya milik Robb Sang Pencipta Agung, sementara manusia ditampilkan dari sisi yang paling manusiawi, yaitu dalam keadaan lemah, penuh dosa dan putus asa.
Lain lagi ceritanya dengan puisi- puisi yang ditampilkan oleh Sutardji Kalzom Bahri. Walau sekilas terkesan bagaikan ceracau dari orang gila yang tidak memiliki arti, atau bahkan memiliki kemiripan dengan mantra-mantra mistik pengusir hantu dari Zaman Purba, ternyata tetap mengandung semangat spiritual yang tak kalah besarnya.
Amat berbeda dengan puisi karya Toto St Radik, dimana keajaiban kata serta imajinasi keadaan kerap terjadi. Dalam puisi- puisi Toto terkandung keberanian yang luar biasa tatkala merefleksikan pemikiran tentang Elan Ketuhanan yang dimilikinya, bahkan mungkin bisa dikategorikan sebagai: Nekat. Racikan kata-kata puitis yang dibuat Toto umumnya sangat sederhana, dengan kebiasaan uniknya yang langsung mengawinkan puisi buatannya dengan sumber hukum Islam tingkat tertinggi, yaitu Alqur'an dan Al-Haditst.
Dari ketiga orang ini, walaupun sama-sama mengekspresikan jiwa berkesenian dalam semangat Ketuhanan yang sama tingginya, tetap saja memiliki perbedaan model serta gaya yang amat signifikan dalam penyampaiannya, meskipun sama-sama berbentuk puisi.