Apa itu fiksi?
Tulisan dengan menggunakan diksi gelap?
Berindah-indah malalui rangkai kata-kata liris puitis nan romantis, yang diharapkan dapat memelintir hati hingga lebih terkecap rasa seni? Atau apa?
Alih-alih menjawabnya dengan begitu banyak teori tentang seni dan puisi, saya justru memilih untuk curhat.
Kenapa curhat? Karena saya bukan penikmat teori. Karena saya masih kukuh berpendapat bahwa teori secanggih dan sebanyak apapun, tetap tak akan dapat menggambarkan pedasnya cabai kecuali jika kita menggigitnya secara langsung.
Dan curhat bukankah peradaban paling mutakhir yang lebih mampu untuk kita menuangkan segala yang ada di pikiran? Tanpa butuh direcoki dengan segala macam aturan baku tentang cara terbaik mendefinisikan dan atau menjelaskan tentang sesuatu, hanya demi terpeliharanya nilai emosi juga rasa yang ada di dalamnya? *Asyiiikkk…^_
Dalam bahasa curhat saya yang kebetulan masih berbentuk runut ini pulalah saya ingin mengatakan, bahwa puisi, telah banyak mengalami pergeseran bentuk yang paling brutal.
Buku puisi terakhir yang saya beli waktu masih sekolah adalah ‘Kubur Penyair’. Saya lupa pengarangnya siapa. Juga alpa dimanakah buku ‘ajaib’ tersebut kini. Dan saya menyebutnya ajaib, mengingat dari begitu banyak halaman di dalamnya, saya hanya teringat satu kata saja, yaitu: Lanskap, yang agaknya menjadi kata kunci yang kerap digunakan secara beulang oleh penulisnya.
Itupun cuma sekedar mengingatnya, tanpa pernah benar-benar memahami isi juga makna kata yang ingin disematkan penyair dalam konteks bait puisinya. Mengingatkan saya kepada “O Amuk Kapak”-nya Sutardji Kalzoem Bahri yang –menurut saya peribadi- lebih cocok disebut mantra atau ceracau orang gila ketimbang dinamakan puisi.
Dan ketika keluhan tersebut disampaikan secara langsung kepada beliau dalam seminar kampus dulu, tentang apa pentingnya berpuisi aneh-aneh dan panjang-panjang, langsung beliau jawab dengan gaya sengaknya yang khas, dengan kalimat yang menendang balik, “Sama seperti apa fungsinya mobil mewah untuk mahasiswa seperti kalian, yang bahkan mencicipi mobil milik pribadi yang biasapun belum pernah.” *Ngek-ngok…^_
Tapi Sutardji tak salah. Karena fungsi serta nilai rasa dari puisi waktu pembuatan era Sutardji memang seperti itu. Ekslusif dan berfilsuf-filsuf. Seakan puisi adalah harta karun jiwa yang hanya akan bisa ditemukan oleh mereka yang menjalani laku penyelaman makna kata, mengingatkan kita kepada Sokrates lengkap dengan imajinasi tentang sosok itu yang gemar mondar-mandir di kamar sambil memegangi hidung atu jidat tatkala merenung, untuk kemudian berhenti demi menuliskan beberapa bait kata singkat yang patah-patah, lalu kembali mengulangi siklus mondar-mandir yang ‘gak puguh lagu’ tersebut.