“Kuraih tombol vote dengan gemetar takut ketahuan tidak pintar.”
Kalimat ini yang ditulis oleh Kompasianer Adhieyasa Adhieyasa, dalam artikelnya yang segar saat memberi opini tentang fiksi versi pribadi.
Dan kalimat tersebut lebih terasa lagi kesegarannya jika mengingat ending artikelnya yang ‘memberi masukan’ agar pegiat fiksiana berdamai dengan kenyataan, dan mulai menulis dengan bahasa yang mudah dipahami dengan alasan bahwa tak akan berkurang kepintaran (para penulis fiksi) hanya karena menulis dengan bahasa yang sederhana. *Tillll… (bunyi sentilan…^_)
Sentil-menyentil Sesama Kompasianer tentang Fiksi.
Artikel tersebut langsung mengundang tawa saya usai membacanya, walaupun hingga tulisan ini digarap, saya masih belum bisa menjejakan apresiasi atas kesegarannya, dengan putaran pelan ‘cacing loading’ koneksi internet lemot yang favorit menjadi alasan.
Tapi tawa saya bukan meledek, menghujat atau berbalik menendang karena adanya perbedaan kesepahaman dengan penulisnya, melainkan tawa yang benar-benar lucu sebab Mas Adhie, menolak ‘gaya penulisan fiksi’ tersebut justru dengan tulisan yang ‘bergaya fiksi’ yang ditolaknya tadi…^_
Hanya saja tawa saya langsung berakhir ketika teringat beberapa sahabat yang gemar mengembara dari satu artikel ke lapak yang lain milik kompasianer (ngiri, deh sama kelancaran koneksi mereka…^_), yang juga memiliki kendala yang sama.
Dengan kejujuran yang memancing senyum, Mas Bambang blak-blakan berkomentar tentang mati kutunya beliau akan tulisan fiksi dan terutama sekali: Puisi. Sementara dengan kekertarikan yang berbeda, Mas Aldy justru memaksa diri untuk menaruh artikel saya di keranjang bookmark, karena katanya beliau puyeng bin ribet membacanya sekali jalan namun penasaran akan nilai yang terkandung di dalamnya *Eaaa…^_
Pergeseran Model dan gaya Fiksi dari Masa ke Masa.