Dari Si Eksentrik ini saya mulai memahami, tentang apa itu stamina tinggi saat hendah meraih sesuatu yang membentangkan track amat panjang yang melelahkan, dan terutama sekali: Membosankan! Yang tetap harus –terpaksa atau tidak- terus kita lalui hingga yang diingini menjadi.
Dan dari Si Eksentrik ini pulalah saya mengetahui, bahwa setangguh apapun seorang wanita, tetap saja dia cuma makhluk yang paling girang untuk dibohongi. Juga makhluk dengan benda kecil di hatinya yang, jika sekali saja kita merusaknya, maka akan amat sukar jalan untuk kembali.
Saya yakin bahwa tulisan tentang Si Eksentrik ini, akan berpotensi mengundang kerutan kecil di dahi teman-teman saya, bahkan mungkin juga di dahi Si Eksentrik itu sendiri, yang dengan koor menyebalkan akan langsung ramai-ramai berbisik, “Koq gue enggak tau, Bay...? Kayanye Na biasa aje deh...” Walau jelas mereka mengerti bahwa saya tidak pernah berbohong atau sekedar iseng jika menyangkut sesuatu yang penting.
Si Eksentrik memang tak pernah mengajari saya apapun. Bahkan dalam banyak hal, mungkin dia yang lebih banyak menyerap materi pengetahuan dari saya. Tentunya belajar dengan tanda kutif di kiri dan kanannya.
Tapi pernahkah kau mengajari bayi berjalan, atau sekedar merangkak dan mengucapkan kata-kata biasa yang lalu menjadi terdengar begitu rancu dan sulit dimengerti, yang setelahnya kau merasa bahwa sebagai pengajar dari bayi tersebut, secara tak sadar kau justru banyak belajar tentang kasih sayang dan kegembiraan darinya, cuma dengan dia tersenyum? Itulah Dunia Bayangan, yang seringkali mampu untuk melihat yang kerap terlewat, dari sudut pandang yang tidak itu-itu saja.
Masih dengan sudut pandang yang sama pula saya berani bertaruh, bahwa saya adalah orang pertama yang membuat Si Eksentrik bebas berkata atau bertanya tentang apa saja. Bahkan juga untuk tema yang hitam, putih, atau abu-abu muda, yang seringkali terkesan begitu panas, tabu, juga mungkin suam-suam kuku. Dan saya pula orang pertama dalam hidupnya selain keluarga dan teman perempuan, yang tanpa ragu dia kemukakan segala mimpi dan rahasia diri, juga hasrat paling liar yang pernah dia punya tanpa khawatir saya jengah atau tertawa.
Atau yang membuat dia harus secepat gabungan The Flash dan Gundala Putera Petir saat mengangkat telepon rumah di tengah malam buta seperti yang dia pinta -karena agaknya ingin kebersamaan jangan dulu terpenggal waktu- sebab tak hendak ‘tertangkap basah’ oleh keluarga. Juga satu-satunya orang yang tanpa malu atau ragu dia akui tengah menangis efek ucapan saya pada salah satu kunjungan kabel berbisik jarak jauh itu.
Tahukah kau bahwa saya masih saja sering tertawa sendiri, jika mengingat ucapan dan bahasa tubuh Si Eksentrik saat bertanya, kenapa saya tidak merasa minder ketika melakukan ‘petualangan segar’ bersama dia dulu, dan tidak seperti Si G atau entah siapa lagi yang jelas-jelas begitu ciut saat berjalan di sampingnya?
Dan semakin tertawa lagi jika mengingat bahwa dibalik segala kemandirian dan jangkauan yang dia punya, betapa saat itu dia benar-benar cuma seorang bocah kecil yang masih amat naif, yang masih menyikapi segala sesuatu hanya dari yang terlihat secara kasat mata.
Jelas dunia yang dimiliki Si Eksentrik sangat berbeda. Dan hal tersebut jelas sah-sah saja, karena siapa pula yang dapat memiliki dunia yang sama dalam hidup yang lebih dari satu warna ini?
Dan dalam dunianya yang berbeda itu saya berani menjamin bahwa saat itu, Si Eksentrik belum pernah melihat betapa banyak orang-orang kere yang berjiwa bangsawan. Atau alangkah banyaknya bangsawan, yang bahkan memiliki mental jauh lebih kerdil dari si kere...!