Juga betapa anehnya saat melihat ada sosok yang jelas-jelas kere namun tak terlihat njomplang saat tengah me-riung bersama para bangsawan, dan atau sebaliknya. Dan semakin aneh lagi saat sosok-sosok yang berasal dari dunia yang amat berbeda tersebut sering bertukar-tukar peranannya dalam pergaulan dan juga hidup. Kadang dengan sengaja. Sering juga karena ingin bercanda dan memoles hidup agar tak sekedar memiliki rasa yang itu-itu saja.
Atau betapa tetap saja ada orang-orang yang selalu terkesan janggal dan ‘tak pantas’ untuk berada di posisi manapun, terlepas dari sisi mana dia berasal. Dan begitu juga sebaliknya. Walau yang teraneh tentu saja mereka-mereka yang memang ‘seperti sudah takdirnya’ menempati posisi yang amat syubhat, yang bahkan orang seperti Si Bay-pun kerapkali tak mampu mengkategorikan siapa dan dari mana asal dunia mereka, karena fakta yang mereka punya tak pernah berhasil mendefinisikan, dan atau menegaskan dengan tepat dari sisi mana mereka datang dan berada!
Saya bersyukur Si Eksentrik tak pernah bertemu dengan Wida. Dan lebih bersyukur lagi karena dia juga tak pernah mengenal Mulan. Karena saya sadar bahwa usia, bagaimanapun juga, dalam hal ini jelas sekali memegang peranannya.
Dan kerumitan usia itu pulalah yang agaknya membuat keakraban kami harus berakhir, dengan amat singkat. Karena kemudaan memang unsur terbesar yang gemar membuat kita kejeglung dalam sikap dan kata-kata. Walau lama setelahnya saya masih suka bertanya-tanya sendiri...
Sudahkah Si Eksentrik berhasil memiliki mobil Jaguar impiannya, yang dulu begitu ingin dia miliki, murni dari hasil keringat yang dia peroleh sendiri? Ataukah justru dia telah menjualnya kembali, sebagai alat yang dapat membuatnya menjadi lebih berharga bagi begitu banyak orang, yang tentu bukan sekedar kelompoknya saja?
Petualangan segar itu kami akhiri dengan penutup yang cukup manis. Makan malam terakhir di sebuah kafe bilangan Senayan, dengan penerangan yang hanya mengandalkan sebuah lilin yang tergeletak di tengah meja dengan lugunya.
Ada pertanyaan terakhir yang diucapkan Si Eksentrik saat itu kepada saya, “Menurut lo, gue cantik enggak, Bay...?” yang setelah saya pandangi wajahnya beberapa jeda, dengan ucapan dan sorot mata yang tegas juga tanpa senyum langsung saya jawab, ”Enggak, lo enggak cantik...” yang saya lanjutkan lagi dengan ucapan, ”Tapi lo cewek yang menarik, Na...” Dan setelahnya, kami berdua lebih banyak terdiam.
Si Eksentrik tidak pernah tahu bahwa setelah jawaban terakhir tersebut, saya masih melanjutkannya dengan beberapa kalimat lagi, walau cuma dalam hati dan cuma buat saya sendiri.
Dalam diam kami menelusuri jalan.
Pulang.