(Artikel ini diposting sebagai bentuk rasa syukur terhadap sosok-sosok yang pernah menjadi teman terbaik saya, seaneh apapun gaya mereka. Juga perasaan bahagia karena dini hari ini, Kompasiana ‘sedang malas’ lemot hingga saya bisa banyak ber-silaturahim ke Kompasianers lengkap dengan jejak vote serta komen di rumah maya mereka. Thank’s sahabat, thank’s Kompasiana, dan tak lupa juga, tararengkiyu buat Pak Erte –yang sebetulnya tak terlalu saya kenali orangnya tapi saya pahami tanda-tangannya hahahay...-. Semoga bermanfaat bagi sobat maya semuanya…^_).
***
Komunitas yang aneh. Seringkali saya tak sadar bahwa ternyata telah begitu banyak ‘negara’ yang tercipta dalam hidup saya. Lengkap dengan struktur jabatan dan aturan mainnya sendiri-sendiri, yang walaupun terbentuk tanpa aklamasi atau melalui proses pemilihan sama sekali, namun tetap diamini sebagai sebuah kesepakatan yang alami.
Dan berbeda dengan struktur keluarga di mana saya tetap dan terus menjadi ‘anak kecil abadi’ bagi orang tua, yang selalu diwanti-wanti saat sedang apa atau di mana tanpa peduli sudah berapa banyak usia dan ‘jam terbang’ saya, dalam negara ini saya bisa dan bebas untuk menjadi apa saja. Kadang menjadi tameng dan pucuk, walau tak jarang cuma jadi buntut atau mungkin sekedar isi perut. Benar-benar negara yang aneh... yang seringkali lebih saya kenal sebagai genk teman main, kelompok sobat sekolah, sohib kampus, atau yang lebih serius seperti jaringan rekan kerja dan mitra bisnis.
Dalam kelompok pertemanan itulah saya menemukan jawaban yang lain tentang kenapa saya bisa memiliki kehidupan yang tak biasa: Teman tim yang tepat.
Tahukah kau apa watak terkeras dari sejarah? Selalu berulang-ulang! Sebuah jawaban yang cukup aneh, terutama bila mengingat betapa kehidupan seringkali terlihat begitu dinamis dengan berbagai macam peradabannya yang gemar membuat kita tercengang dan ternganga-nganga.
Tapi memang watak itulah yang kerap saya temui dalam hampir semua kelompok pertemanan saya. Selalu saja ada teman yang entah mengapa kemudian menjadi sosok yang paling diandalkan, atau menjadi yang paling ‘dituakan’, yang paling disayang dan dimaklumi segala tindakannya karena mungkin dia yang paling muda atau yang paling lemah, yang spesialis didaulat untuk selalu jadi badut dengan segala banyolan dan tingkah lucunya, dan... tentu saja yang paling membuat sebal karena sikap noraks, konyol dan katroksnya!
Dengan segala keajaiban serta ketidak sepahaman di dalamnya itulah saya menghabiskan begitu banyak waktu bersama mereka, bermasalah dan menyelesaikannya, berkeinginan dan menjadikannya, juga saling memberi dan berbagi: Dalam sebuah kelompok tim yang solid. Bahkan juga terhadap teman yang biang kerok dan brengsek tersebut!
Bersama teman tim yang tepat itu saya kemudian berkembang, serta memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi. Bersama mereka saya tahu bahwa saya mampu untuk melakukan apapun atau menjadi siapapun, dan menghilangkan semua ‘batasan’ yang ada dalam diri saya.
Saya tahu harus bertemu siapa ketika ingin ide saya didengar, ketika saya butuh modal, butuh orang, butuh tempat, butuh kendaraan, atau sekedar butuh seseorang yang tak sungkan untuk mencaci-maki saya sebagai bentuk lain dari introspeksi diri.
Saya juga tahu harus menghubungi siapa saat saya hanya ingin kumpul bareng, sekedar jalan atau ‘tereak-tereak’ dengan suara fals sambil gitaran di pinggir jalan, konvoi motor sampai pagi dan pulangnya terpental karena ban belakang bocor di jalan menurun saat kecepatan nyaris 100 km/jam, hang out di villa, atau ngopi di pinggir laut sambil curhat dan berbicara tentang banyak mimpi yang mendunia.