Memahami substansi mati dari aspek lahiriah saja tentu tidak akan mampu memberikan kedalaman pengalaman batin. Begitupun sebaliknya, penekanan yang sekedar beredar dan terus berkisar-kisar pada sisi batin biasanya cenderung mengabaikan aturan, hukum serta 'peradaban', sehingga berpotensi menuai anggapan sesat dari masyarakat.
Apakah kemudian kita harus terus beretorika tentang ada atau tidaknya 'budaya' dan 'simbol' mayapada di kehidupan setelah dunia? Ah, saya jadi teringat Abu Bakar Asy-Syibli. Jadi terkenang si Mantan Gubernur yang sengaja menanggalkan jabatannya hanya demi menjadi seorang pengemis guna melepaskan cangkang ego dan kesombongan dalam dirinya di mata manusia, demi bisa lebih dekat menuju pencipta-Nya.
Jika saja Asy-Syibli masih hidup, besar dugaan saya bahwa beliau akan kembali mencoba untuk membakar neraka dan surga hingga musnah tanpa sisa. Agar manusia tak lagi perlu pamrih melakukan apapun di alam sebelum-saat-dan setelah mati. Agar manusia hanya melakukan segalanya, hanya untuk-Nya, hanya menuju-nya, dan bukan demi mendapatkan hadiah-Nya ataupun menghindari hukuman-Nya.
Ah...
(Pulang dari ruang maya Kompasiana sambil banyak termenung…).
Â
Kompasiana-2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H