Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahkan untuk Matipun Kita Masih Penuh Pamrih

6 Juli 2015   20:58 Diperbarui: 6 Juli 2015   20:58 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh-oleh gentayangan Si Bayangan kali ini adalah tentang kematian, yang menurut versi Sabda Armandio si penulis hati, dalam cuplikan novelnya saat menyajikan kematian versi lautan.

Cara mati yang, kalau dipikirkan, sepertinya pedih sekali—kau merasakan air laut memenuhi lambungmu, mengisi paru-parumu hingga kau depresi dan menyerah untuk bernafas, jantungmu yang kekurangan suplai oksigen berhenti bekerja, dan sedikit demi sedikit udara di dalam tubuhmu keluar seperti balon gas yang dilepas di dalam air, kau meronta-ronta hingga lemas; kau merasakan kematian perlahan merentangkan lengan dan memelukmu. Kau mati dan kesepian. Tetapi apa bedanya? Mati bahagia dan mati sedih, mati di tempat ramai atau mati di tempat sepi, sama saja. Kau mati dan kau mati dan kau mati.”

 

Berbeda dengan kematian versi Purnama Tepilangit si penulis humanis, yang baru beberapa waktu yang lalu dicatatkan dalam sebuah komen di salah satu postingan akun Bayangan saya, lengkap dengan tawanya yang lepas sebebas serpihan debu,

Hahahaaa.. 'Purnama Tepilangit' pasti akan mati, sayangnya hanya bisa mati satu kali, karena ia bukanlah tokoh sejarah, dan sejarah memang tak akan pernah mengenalnya.

Tokoh sejarah, rata-rata mati dua kali.

Pertama kali, ketika ia dimakamkan.

Kedua kali, ketika ia dibangun sebagai monumen.

 

Atau ketika dengan gagahnya saya pernah mendeskripsikan 'Mati paling Gaya' pada sebuah personal literasi, yang akhirnya menghasut saya untuk berpikir ulang apakah itu kematian saya ataukah kematian Cianbunjin Partai Kaypang?

Adakah kematian yang lebih gahar dari ini...? Sebuah ramalan paling sarkas yang pernah saya terima, yang tentunya terjadi saat kondisi emosi hanya setebal pucuk lidi, dalam sebuah kesalah pahaman waktu itu, yang nyaris finis namun selalu saja kembali urung mengujung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun