Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Secangkir Kopi Kesedihan dan Kebodohan dari Masa Lalu

5 Juli 2015   03:19 Diperbarui: 5 Juli 2015   03:19 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Pengalaman...!” Jawaban mengejutkan tersebut yang dipilih oleh dosen UI berpenampilan necis yang gemar wara-wiri ke luar negeri tersebut, saat saya tanyakan tentang mana yang terbaik antara ilmu yang diperoleh di bangku kuliah (sekolah), dengan pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman di lapangan.

Dan terdorong oleh rasa penasaran juga kekhawatiran bahwa sang dosen salah tangkap atas pertanyaan tadi, saya kembali bertanya, dengan tendensi yang jauh lebih tegas.

“Walaupun jika yang diperoleh di sekolah adalah kualitas yang terbaik misalnya, sementara pengalaman langsung di lapangan cuma sekedar tingkat yang biasa saja?”

Tetap saja beliau menjawab dengan jawaban yang sama, yang membuat saya jadi merasa terjebak dalam ‘kebodohan kolektif’ bersama teman-teman karena terus saja ngejogrok di UI. Belajar ini-itu yang ternyata cuma ilmu kelas dua doang, dan bukannya langsung cabut ke Mesir untuk mulai menggali peradaban tinggi yang terdapat dalam kuburan Fir’aun di entah piramida yang mana. Atau jika dirasa terlalu jauh, tinggal putar arah ke daerah karet untuk mulai setidaknya menggali kubur bagi diri sendiri.

Tapi saya tak menyangka begitu mahalnya imbalan yang harus dibayar hanya untuk memperoleh ‘ilmu kelas satu’ itu, yang kadang tidak hanya saya bayar dengan uang saja, melainkan juga dengan keringat, hati, juga hidup dan kebebasan saya sendiri, yang barangkali dengan sedikit sedih akan saya tuangkan dalam tulisan ini.

Setelah hengkang dari UI, saya langsung dikepung oleh berbagai kesibukan yang bertubi-tubi. Terutama sekali sibuk menghitung betapa banyaknya waktu dan energi saya yang telah terbuang dengan sangat percuma untuk memperoleh pengalaman hidup yang –ternyata: ‘cuma begini saja’.

Dan sambil sibuk memikirkan kesibukan apa kira-kira yang akan saya buat setelah berbagai kesibukan yang lalu, iseng-iseng saya sibuk mencolak-colek memori, berharap ada sepotong kenangan dalam hidup saya yang mampu untuk memberi setidaknya sedikit inspirasi.

Tapi kehidupan agaknya bukanlah sesuatu yang cukup berharga buat saya, terutama saat mengetahui bahwa hidup yang dijalani, cuma penuh terisi oleh berbagai macam remeh temeh kejadian yang hanya begitu saja, yang seketika memprovokasi saya untuk bertanya, “Tak adakah sesuatu yang membanggakan dalam hidup saya...?”

Sejak kecil saya telah tahu ada begitu banyak tempat yang menjual minuman beralkohol dengan bebas, yang bahkan anak SDpun bisa memperolehnya dengan mudah: Secara eceran per gelas! Atau di lokasi mana bisa memperoleh narkoba kelas monyet yang terjangkau anak sekolah, lengkap dengan obat kuat dan segala macam alat yang dapat membuat seks bebas menjelma komoditas yang amat menendang adrenalin keuntungannya. Namun pengetahuan tentang hal-hal tersebut jelas bukanlah sesuatu yang dapat saya banggakan. Sama tidak membanggakannya seperti ketika saya dengar cerita dedengkot kenalan saya yang terkaing-kaing diburu peluru gepeng selebar tiga jari yang nyaris membuat lehernya putus, tidak lama setelah dia membajak sebuah mobil yang membawa banyak barang berharga.

Saya tahu semuanya! Tahu harus ke mana jika ingin memakai jasa pecun atau ba-on, juga tahu bahwa dengan harga yang lebih ‘damai’ akan memperoleh paket yang lebih pribumi. Tahu bahwa ketika saya meringkuk kedinginan di atas kardus bekas pada emper sebuah lokasi yang disulap jadi basis pemulung, teman-teman saya sibuk membuat sketsa dan berbagi tugas untuk membobol sebuah gudang, atau sekedar menghangatkan diri berbicara ini-itu sambil menikmati seteguk-dua alkohol yang agak berat, beberapa linting gele, hingga jatuh tersungkur karena terlalu banyak nge-boat. Juga tahu bahwa ada anak sekolah yang diberi kode dan rahasia tertentu dari profesor entah siapa, yang setelahnya dia dapat dengan bebas mengotak-atik ATM manapun dan menarik tunai isinya: Cuma dengan memencet beberapa tuts dan tombol yang ada!

Saya tahu betapa bising dan menyakitkan telinganya musik dangdut yang disetel sekuat mesin, saat bersama teman lalu-lalang di kompleks pelac**fiiiifff**r*n lokal mencari entah barang apa, yang setelahnya begitu muak melihat para penjaja seks setengah tua itu berseliweran dengan risleting celana yang diturunkan setengah, sambil diam-diam mengusap keringat dingin yang mengembun karena yakin bahwa cuma perlu sedikit insiden untuk dapat membuat saya kehilangan nyawa di sana, dengan ruh yang langsung ditendang ke neraka jahanam tanpa perlu repot-repot menjawab pertanyaan kubur. Atau ketika dengan marahnya mendengar kabar kematian seorang teman yang terjatuh dari atap saat membobol sebuah tempat, yang pada saat dia masih dalam keadaan kejet-kejet, cuma ditutupi koran oleh teman-temannya karena mereka masih ingin sibuk menjarah.

Saya tahu semuanya! Melihat dengan jelas dan mengalami sendiri dunia yang terekam dalam lirik ‘Sugali’, ’lonte’, atau ‘bento’ nya Iwan Fals. Tahu bahwa dengan sedikit siasat yang sederhana maka saya dapat membuat bermacam-macam kartu kredit dan berbagai produk keuangan sejenis, juga cara mencairkan 100% pagunya tanpa perlu berpayah-payah membagi antara tarik tunai dengan pembelian barang, bahkan untuk mereka yang bekerja di sektor informal dan atau mungkin pengangguran sekalipun! Dan pengetahuan itu saya dapatkan bertahun-tahun sebelum era di mana semua begitu gamblang dan terbuka seperti saat ini, yang mungkin cuma perlu membaca harian murah seharga buang air di terminal atau nge-klik google, twitter juga sms maka selesailah semua terhidang rapi serta siap saji di atas meja. Dan berbeda dengan anak sekolah teman si profesor tadi yang aksi pembobolan ATMnya tidak berumur panjang, modus yang saya tahu itu tentu saja tak terbongkar, walaupun jelas terlacak. Namun kesederhanaan cara yang dilakukan agaknya menjadi satu-satunya senjata ampuh yang dimiliki.

Saya tahu semuanya. Tahu bahwa era informasi agaknya telah lebih dulu menghampiri saya, bahkan jauh-jauh waktu sebelum era tersebut mulai mangkal dan terkenal. Tahu tentang perbankan saat tak semua teman saya mengenal dan memiliki walau cuma rekening tabungan. Tahu tentang uang, saat orang-orang terdekat saya mungkin baru tahu tentang uang saku saja. Juga tahu tentang betapa seringkali aneh, janggal dan berlikunya jalan yang terbentang menuju uang tersebut, yang menjadikan hidup tak melulu hanya terisi dengan senyum dan atau tawa saja.

  Saya tahu semua yang bahkan tidak pernah diketahui M**fiiiiifff**l*n –guru tercerdas saya- sekalipun, yang bertahun-tahun setelahnya membuat dia terkaget-kaget dan agak takut ketika saya bagi sedikit informasi tentangnya. Sebuah kehidupan ‘tak biasa’ yang pernah begitu akrab dengan diri saya, saat nyaris setiap malam saya lewati dengan menyusuri tempat-tempat tergelap dan paling hitam dari kota Jakarta, saat saya belum lama terdaftar di bangku SMU, yang kata orang semestinya lebih terhormat jika diisi dengan belajar, bermain band, atau mungkin sekedar minum susu sambil makan kwaci dan menonton televisi, syukur-syukur berangkat ngaji.

Dan dengan semua pengalaman tersebut, tentu tak ada lagi rasa takut atau minder yang tersisa dalam diri saya. Walau sayangnya segala ‘muatan berat’ yang masuk dalam hidup saya tersebut tak lantas menjadikan saya pribadi yang terasah, melainkan justru menciptakan semacam gegar budaya yang membuat saya menjadi begitu apatis dan tak bereaksi terhadap apapun, ditambah dengan sikap yang resah sebagai bonus dari semuanya. Dan semua itu jelas sangat membayang di wajah saya, tanpa pernah bisa untuk sekedar saya tutupi dan sembunyikan, selamanya...

 

***

Epilog:
Beberapa tahun setelah peristiwa di atas, akhirnya saya berhasil membangun sebuah Lembaga Pendidikan versi idealisme saya sendiri, sebagai jawaban atas ‘kedahsyatan’ lembaga pendidikan yang ada di negeri ini.

Pada masa itu kami bisa menyulap bocah berusia 4 tahun hingga memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang setara dengan kemampuan siswa kelas 3 SD, hanya dengan belajar 1 jam perhari selama 1 tahun. Sebuah pencapaian yang cukup menggegerkan lingkungan  sekitar, yang langsung menobatkan kami sebagai Lembaga Pendidikan terbaik yang sukar disaingi oleh siapapun, termasuk juga sekolah Kristen yang terkenal bagus dan sekolah Islam yang terkenal mahal.

Inikah ilmu kelas satu yang saya maksud itu? Sayangnya bukan. Karena pada akhirnya inipun tak lebih baik dari ilmu kelas dua tersebut. Karena  bagaimana mungkin kita bisa mendaur ulang tumpukan sampah hingga menjadi timbunan cahaya, ketika kita melulu berfokus terhadap bau busuk kegagalan sistem pendidikan tumpukan sampah tersebut.

Pada akhirnya sampah tetap saja sampah, tak peduli sebagus apa kemasan yang kita gunakan untuk membungkus kebusukannya. Tetap sampah. Tak lebih. Dan lembaga pendidikan yang terlihat ideal itupun kemudian berakhir. Tutup. Bubar.

Butuh banyak tahun hingga akhirnya saya menemukan model pendidikan yang benar-benar ideal. Yang tidak sekedar perbaikan dari yang pernah ada. Yang tidak sekedar tambal sulam antara pendidikan versi sekuler dengan versi Islam yang seringkali hanya ‘seakan-akan’ ber-Tuhan.

 

Tapi saya tak pernah lagi melembagakannya. Tidak pernah lagi menjadikannya sekolah formal. Tahukah kau apa alasannya, kawan…?

 

(Secangkir Kopi Kesedihan dan Kebodohan dari Masa Lalu-2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun