Ketika para tetangga menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri, Ibu tidak lantas bertindak serupa. Ibu justru memasukkan kami ke sekolah swasta unggulan, walau biaya yang dibutuhkan menjadi jauh lebih besar. Hampir tiga kali lipat! Tapi Ibu tak peduli. Beliau hanya ingin memberikan yang terbaik bagi kami. Dan sekolah unggulan, menurut Ibu, memiliki fasilitas yang jauh lebih lengkap. Tidak hanya sampai di situ, bahkan Ibu masih sempat memasukkan kami ke sebuah Madrasah. Kata beliau, agar fondasi agama kami menjadi baik. Walau kadang aku merasa agak lelah karena harus bersekolah dua kali.
“Hati-hati loh, Bu… Orang berenang kan harus sesuai kemampuan. Salah-salah nanti tenggelam di tengah laut…” seorang tetangga pernah menasehati.
Namun tekad Ibu tak goyah sedikitpun. Sambil tersenyum beliau menjawab, “Yah… doakan saja agar kami tak tenggelam. Dan jika memang di tengah jalan aku atau mereka tak lagi punya daya, mudah-mudahan Sang Pengasih berkenan mengirim pertolongan –Nya… Mungkin lewat kapal nelayan yang tersasar tiba-tiba, atau… bisa jadi, ada batang pohon yang hanyut kearah kami. Wallahu a’lam, biarlah itu menjadi urusan –Nya…”
Tetangga itu hanya bisa menggelengkan kepala. Ia menyebutnya nekad sementara Ibu menamainya masa depan.
***
Pagi ini hujan turun dengan sangat deras. Butiran-butiran bening sebesar jagung itu jatuh ke bumi. Serentak, menimbulkan suara-suara yang berirama panjang dan khas. Simfoni hujan.
Tapi hujan tak berlangsung lama. Dari jendela kamar kulihat tetes-tetes yang tadi begitu deras, mereda, meninggalkan jejak basah di mana-mana. Pada jalan, juga pada genteng rumah dan pepohonan yang kini semakin jarang. Sementara pada sudut yang tak lebih dari empatpuluh lima derajat di langit, matahari kembali bersinar cerah. Dan semakin cerah ketika sebagian sinarnya tertahan oleh uap air yang tersisa. Membias, membentuk sebuah lengkung raksasa yang kaya akan warna.
Inikah yang namanya pelangi? Maha Suci Zat Yang Maha Sempurna… Alangkah indahnya!
Dan keindahan itu serta-merta membawaku ke masa lalu, masa ketika hidup hanya berisi keceriaan yang hakiki. Masa kanak-kanak.
Anganku mengelana, mencoba mereka ulang sosok-sosok fiktif nan anggun yang turun dari kahyangan. Katanya, sosok-sosok itu hendak mandi di sungai yang ada di bumi. Mungkin di kahyangan tidak ada sungai. Atau barangkali itu hanya alasan saja sebab, bisa jadi, mereka sebenarnya begitu terpesona dan ingin berjalan-jalan di atas titian penuh warna yang mengagumkan itu. Mungkin juga bukan keduanya. Bukankah itu hanya dongeng?
Sambil tersenyum kupandangi lengkung penuh mimpi itu. Apakah hidupku juga akan seperti itu? Penuh dengan pelangi-pelangi khayal beserta seluruh dongeng yang menyertainya? Entahlah… Tapi setidaknya hal itu telah memberiku banyak inspirasi. Bukankah pelangi tidak terbentuk hanya dengan satu garis warna? Juga bukankah pada tiap-tiap lapis warnanya, tersimpan keindahan yang sama? Yang juga mengagumkan?