“Yaa… Si Abang, kirain mah tahu… Udah ah, saya mau pulang,” ucapku sambil melangkah tergesa-gesa.
“Eh, Deek…! Korannya belum bayaar…!” setengah berteriak penjual koran itu memanggilku.
Deg. Masya Allah! Aku lupa! Cepat-cepat kuhampiri lagi penjual koran itu, dan memberinya selembar lima ribuan lusuh yang kutemukan di kantung celana.
“Maaf yah, Bang. Lupa hehe…” ucapku sambil menahan malu. Setelah itu aku cepat-cepat melesat kembali. Setengah berlari.
“Deek…! Kembaliannyaaa…!”
“Udah buat Abang ajaaa…!”
***
Pagi ini rumahku geger. Keluargaku sangat gembira begitu tahu bahwa aku telah lolos dalam seleksi paling ketat dan bergengsi negeri ini, SPMB. Dan kebanggaan mereka semakin bertambah ketika kujelaskan bahwa dari sekian ratus ribu peserta yang ikut tes, hanya sekian ribu saja yang diterima. Dan aku adalah salah satunya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan aku diterima pada salah satu universitas papan atas negeri ini! Alangkah gagahnya aku nanti. Apalagi jika jaket kuning yang melegenda itu kupakai. Wah…
Hampir saja aku keluar rumah dan berteriak kepada orang-orang tentang keberhasilanku. Tapi niat itu urung kulakukan. Tiba-tiba saja kulihat Ibu menangis.
Menangis? Ada apa?
“Ibu tak punya uang, Nak,” hanya kata-kata itu yang beliau ucapkan di sela tangisnya.