“Sudahlah, Bu, syukuri saja apa yang ada…” ucapku masih dalam senyum. Ah, Ibu…
Dan hari-hari terus saja berlalu dengan gagahnya. Tak peduli manusia suka atau tidak. Juga tak peduli bahwa mungkin, pada setiap detik yang ia gulirkan, telah menciptakan begitu banyak kejadian yang beraneka ragam. Penuh warna. Seperti juga matahari yang terus saja bersinar tanpa lelah. Hingga suatu saat, ufuk Barat memberinya sebuah ranjang dari lembayung yang berkilau. Emas.
Sepoi angin laut menerpa wajahku, membuat segala kenangan menutup dengan sangat segera. Aku mendesah pelan. Kubasuh mukaku dengan cairan asin itu. Dalam keremangan senja kutinggalkan laut, pulang.
***
Namaku Mentari. Aku tinggal di Jakarta hanya bertiga, bersama Ibu dan Kakakku. Ayahku sudah lama wafat, sementara Perisai, adikku, tinggal bersama kakek dan neneknya di desa.
Di Jakarta kami mengontrak sebuah rumah kecil berloteng. Ukurannya 3X6 meter, yang terbagi menjadi empat buah kamar yang mungil. Sebuah penghalusan kata dari kamar yang berukuran cukup mini… 3x3 meter!
Waktu kami masih kecil-kecil, Ibu hanya memakai dua kamar di bagian bawah. Sisanya beliau kontrakkan lagi kepada orang lain. Dan ketika kami sudah mulai besar -setidaknya cukup besar menurut pandangan Ibu- kamar yang di atas pun tak lagi di kontrakkan. Satu untuk tidur Ibu dan kakakku, satu lagi untukku. Sementara kamar bagian bawah beralih fungsi. Sebelah kanan menjadi ruang tamu sekaligus ruang keluarga, sementara sebelah kiri dibagi lagi menjadi dua. Satu untuk kamar mandi dan dapur, sisanya untuk warung.
Ibuku perempuan yang sederhana. Pendidikannya pun tidak tinggi. Hanya PGA. Namun jika ada yang bertanya tentang anak-anaknya, maka Ibu akan serta-merta menjawab dengan semangat, “Anak-anakku kelak akan menjadi orang besar! Nih, lihat…! Si Tulip akan jadi dokter. Dan Ari, emmh… dia akan menjadi insinyur yang paling hebat sedunia…!” lalu yang bertanya akan tertawa. Entah terbawa oleh semangat dan kegembiraan Ibu, atau tertawa prihatin karena paham akan kondisi Ibu yang serba minim.
Tapi Ibuku bukan perempuan lemah. Dibalik segala kesederhanaannya, Ibu adalah sosok yang amat gigih dalam menjalani kehidupan. Dan hal itu telah beliau buktikan.
Dulu ketika rumah kami tidak lagi dikontrakkan, Ibu tidak malu-malu untuk berdagang. Kecil-kecilan, hanya menjual pisang goreng dan beberapa penganan matang lainnya. Seiring perjalanan waktu usaha Ibu semakin maju. Tak lagi sekedar berdagang penganan kecil, melainkan juga barang kebutuhan sehari-hari lainnya.
Tapi warung Ibu tak pernah berkembang menjadi sebuah toko. Bukan karena Ibu seorang pemboros atau hasil warungnya hilang diambil tuyul seperti yang sering kudengar dari tetangga, melainkan karena Ibu begitu mementingkan pendidikan kami.