“Aku adalah Mentari…!!!”
“Aaaahh…!!!”
Tiga kali sudah aku berteriak-teriak di sini, pada salah satu tepian laut Muara Baru. Kutatapi laut yang ada di depanku. Alangkah indahnya! Bahkan debur ombak dan angin yang mendesaupun menjelma orkestra di telingaku. Ah, siapa bilang Tuhan bukan seniman?
Ada perasaan lega yang besar setiap kali aku selesai berteriak. Perasaan lega yang berbaur dengan ketenangan. Perasaan lega yang sangat besar, bahkan mungkin lebih besar dan luas dibanding makhluk cair yang terhampar di hadapanku ini.
Kadang aku tak habis pikir mengapa bisa mempunyai kebiasaan yang begitu aneh dan terkesan bodoh ini, berteriak-teriak kepada laut. Bukankah laut benda mati? Yang tak dapat melakukan sesuatupun yang bisa mempengaruhi kehidupanku? Bahkan ia tak pernah membalas teriakanku, walau sekali.
Tapi adakah sesuatu yang bodoh jika itu menyangkut emosi?
Dalam diam yang panjang kutantang laut, dan laut memberiku pukulan telak di hidung. Perih juga asin, lewat angin. Bergeliat-geliat anganku menggelegak. Resah, liar, kembara panjang…
“Twilight zone! Alhamdulillaa…h! Yihaa…!” kulempar koran ke udara. Dadaku bergemuruh. Senang sekaligus haru. Sementara penjual koran di depanku cuma bisa heran melihat tingkahku yang ajaib.
“Dek, ada apaan, sih? Kelihatannya gembira amat. Menang undian, ya?” masih dengan heran penjual koran itu bertanya.
“Hehe… Bukan, Bang,” jawabku sambil memungut koran yang tadi kulempar. “Yang ini lebih spesial, Bang. Tahu enggak, emmh… saya lulus SPMB, Bang! Nih, lihat…! Nama saya ada di sini…!” lanjutku sambil menunjuk pada lembar yang kupegang.
“Wah… selamat, yah,” penjual koran itu ikut antusias dan menyalamiku, sebelum melanjutkan lagi kalimatnya. “Eh, tapi… SPMB itu apa, sih?”