Mohon tunggu...
Ahmad Luqman
Ahmad Luqman Mohon Tunggu... Administrasi - tinggal di Bandung

penikmat kompasiana... kecuali tulisan dagelan... (WA 0878-7690-9696)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menuju Satu Data Kemiskinan

15 Agustus 2019   10:55 Diperbarui: 15 Agustus 2019   11:13 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halaman depan Pikiran Rakyat edisi Selasa 16 Juli 2019 lalu memuat  berita yang sangat mengusik nurani dan kepedulian kita. Ternyata di sekeliling kita masih  banyak penduduk miskin yang jumlah nya sekitar 3,4 juta jiwa atau 6,91 persen. Bahkan penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 13,5 persen dari total penduduk miskin nasional.

Tahukah anda bahwa ketika BPS merilis indikator statistik misalkan persentase penduduk miskin di suatu wilayah pada titik waktu tertentu, itu hanya sebatas angka yang bersifat makro saja ? Data rinci yang bersifat individual penduduk miskin seperti nama dan alamatnya tersebut tidak tersedia untuk umum.

Nah lho, lantas bagaimana kita mau mengentaskan penduduk miskin kalau tidak diketahui siapa dan dimana mereka tinggal ? Itu seperti kita menemukan korban tabrak lari yang tidak punya kartu identitasnya. Susah kita menghubungi keluarganya karena ketidakjelasan informasi detail, minimal nama dan alamatnya.

Data  makro yang dihasilkan oleh BPS tersebut didapat berdasarkan hasil survei lapangan. BPS menyampaikan angka estimasi persentase penduduk miskin berdasarkan  Survei Sosial Ekonomi Nasional disingkat Susenas.

Survei adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pencacahan sampel untuk memperkirakan karakteristik suatu populasi pada saat tertentu.  

Proses pengambilan sampel (sampling) dilakukan melalui metode statistik. Penentuan banyaknya sampel tergantung tujuan survei, karakteristik populasi,  cakupan, waktu yang ada, sumber daya manusia, anggaran yang tersedia dan faktor-faktor lainnya.

Metode survei secara sampel hanya menghasilkan angka makro. Untuk mendapatkan data mikro yang bersifat individual, maka dibutuhkan statistik sektoral. Landasan hukum tentang statistik sekoral adalah Undang-Undang Statistik Ko 16 Tahun 1997.

Pada UU tersebut disebutkan pengertian statistik sektoral yaitu statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan instansi tertentu yang merupakan tugas pokok instansi yang bersangkutan.

Berbeda dengan data statistik dasar yang bersifat makro dan dirilis oleh oleh BPS, statistik sektoral meliputi data rinci tentang suatu kondisi atau keadaan. Data sektoral ini lebih bersifat operasional dan akan sangat membantu program-program pengentasan kemiskinan.

Profil kemiskinan Jawa Barat

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach).  Pada pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan  dari aspek ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Penentuan penduduk miskin ini  diukur menurut garis kemiskinan (makanan & bukan makanan).

Dengan demikian, maka yang masuk kategori penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.

Garis Kemikinan Hasil Susenas Maret 2019 tercatat Rp. 386.198,- per kapita per bulan.  Pada Garis Kemiskinan Maret 2019 ini, kontribusi komoditas makanan pada GK tercatat sebesar 72,94 persen, sisanya dari non makanan (27,06 persen).

Selanjutnya berdasarkan lokasinya, penduduk miskin di Jawa Barat secara jumlah lebih banyak terdapat di perkotaan.  Berdasarkan hasil Susenas Maret 2019, penduduk miskin di perkotaan mencapai  2,27 juta jiwa atau sekitar 67 persen.  Penduduk miskin di perkotaan ini mencapai dua kali lipat lebih dibanding di perdesaan yang tercatat sebanyak 1,13 juta jiwa.

Meskipun secara nominal jumalh penduduk miskin di perdesaan lebih kecil, secara persentase lebih tinggi. Penduduk miskin di perdesaan tercatat 9,79 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 6,03 persen.

Seperti tekah disampaikan pada uraiansebelumnya. data penduduk miskin  yang dihasilkan oleh BPS bersifat makro. Meskipun demikian, hal ini dapat dijadikan patokan atau acuan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial atau yang terkait untuk melakukan pendataan penduduk miskin melalui para petugas lapang.

Data yang dikumpulkan bisa ringkas sesuai kebutuhan sehingga dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dan cepat. Tentu saja konsep, definisi dan metodologinya terlebih dahulu dikonsultasikan dengan BPS sebagai pembina data statistik.

Perpres 39 Tahun 2019

Konsultasi dengan BPS dimaksudkan untuk menghindari duplikasi pendataan. Selain itu pula, diharapkan tidak terjadi perbedaan dalam penentuan siapa yang disebut penduduk miskin.

Selama ini perbedaan angka antara BPS dengan instansi lain disebabkan karena perbedaan konsep, definisi dan metodologi yang digunakan. Jika perbedaan ini tetap ada, maka perbedaan angka juga akan tetap terjadi.

Jadi solusinya sebenarnya sederhana saja yaitu perlunya kesamaan konsep, definisi dan metodologi dalam pendatataanya. Lantas kalo memang sederhana solusinya, kenapa masih saja banyak data yang berbeda ?

Disinilah peran penting keberadaan perpres nomor 39 tahun 2019 yang baru disahkan Juni lalu. Pada perpres ini ditegaskan tentang standar data yang harus dipenuhi oleh instansi pemerintah yang menghasilkan data baik di pusat maupun di daerah.

Standar data pada perpres ini mencakup konsep, definisi, klasifikasi, ukuran dan satuan data. Penetapan standar data ini bertujuan mendapatkan data yang akurat mutakhir, terpadu, dapat dipertangungjawabkan, mudah diakses dan dapat dibagipakaikan. Diharapkan dengan perpres ini dapat dihindari adanya kesimpangsiuran data yang selam ini kerap terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun